Gatekeeping adalah perilaku di mana seseorang membatasi informasi atau peluang yang seharusnya bisa diakses oleh teman, rekan kerja, atau bawahan, dengan tujuan tertentu. Biasanya, perilaku ini muncul karena adanya kompetisi atau keinginan untuk mempertahankan otoritas.

Praktik gatekeeping dapat menyebabkan eksklusivitas dan merusak budaya perusahaan bila terjadi di lingkungan kerja. Mulai dari rusaknya dinamika kelompok, muncul ketegangan dan ketidakpercayaan serta persaingan yang tidak sehat.

Menurut Arsjad Rasjid, gatekeeping adalah hambatan bagi kolaborasi tim dalam perusahaan. Bila hal tersebut terjadi, simak tips mengatasinya di bawah ini.

Gatekeeping, atau Silo Mentality, dalam Dunia Kerja

Arsjad Rasjid menjelaskan bahwa silo mentality atau gatekeeping dalam dunia kerja, merujuk pada keengganan untuk berbagi informasi, pengetahuan atau sumber daya dengan karyawan lain dari departemen yang berbeda.

Salah satu penyebab utama dari attitude ini adalah permasalahan dari manajemen atas yang turun ke tim di bawahnya. Mulai dari adanya persaingan antara manajer senior yang ditularkan ke karyawan di bawahnya, atau manajerial yang ‘mengizinkan’ budaya ini terbentuk.

Selain itu, faktor lain yang bisa memicu gatekeeping adalah pandangan karyawan yang sempit dalam bekerja. Mereka cenderung menyimpan informasi atau pengetahuan penting karena lebih memikirkan kepentingan pribadi.

Namun dampak krusial dari silo adalah menghambat produktivitas dan inovasi baik secara perorangan maupun kinerja tim. Untuk dapat mengatasi permasalahan ini, diperlukan upaya komunikasi yang terbuka lintas departemen, serta memperbaiki budaya kolaborasi di dalam lingkungan perusahaan.

Tips Arsjad Rasjid untuk mengatasi permasalahan gatekeeping

Kunci untuk mengatasi perpecahan dan masalah akibat gatekeeping adalah dengan meningkatkan aktivitas yang melibatkan kerjasama, kolaborasi hingga knowledge sharing yang saling berimbang.

Perusahaan perlu mendorong manajer dan karyawannya untuk saling berperan lewat beberapa hal seperti di bawah ini.

1. Struktur komunikasi terbuka dan transparan

Perusahaan perlu membangun budaya di mana akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan bisa didapatkan semua karyawan dengan adil. Selain itu juga mendorong komunikasi dan informasi yang terbuka antar tim atau departemen.

2. Pertukaran pengetahuan dan pengalaman

Langkah berikutnya adalah melakukan kolaborasi dengan memastikan kenyamanan setiap karyawan untuk dapat berbagi ide, pengetahuan, pengalaman maupun informasi lainnya.

Hal ini bisa diterapkan saat melakukan komunikasi internal dengan tim, hingga proyek bersama yang melibatkan departemen lainnya. Berikan apresiasi pada anggota tim atau karyawan yang telah membagikan informasi, memberikan dukungan pada rekan kerja maupun mereka yang berkontribusi pada keberhasilan tim.

Cara ini dapat mendorong budaya kolaboratif dan menjadi motivasi tersendiri bagi individu maupun tim di perusahaan.

3. Kepemimpinan didasari kolaborasi dan inklusivitas

Sebagaimana gatekeeping juga bisa terjadi karena kultur yang dikembangkan oleh para manajer, maka perusahaan perlu memastikan bahwa pemimpin dan manajer yang ditunjuk dapat mengadopsi kepemimpinan yang inklusif dan kolaboratif.

Hal ini bisa diwujudkan dengan memberikan umpan balik terhadap informasi maupun permasalahan yang disampaikan timnya. Di samping itu juga memberikan dukungan dan sumber daya secara adil dan merata, tanpa keberpihakan.

BACA JUGA: Jangan Khawatir Saat Merasa Left Out atau Ditinggalkan, Ini Pesan Arsjad Rasjid

Gatekeeping adalah salah satu tantangan dalam kultur perusahaan yang memiliki beragam departemen dan sumber daya manusia potensial. Namun dengan membangun fondasi budaya kolaboratif, komunikasi yang transparan dan apresiatif terhadap aspirasi tiap individu, risikonya dapat diminimalisir dan menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat.

You may also like

More in News