Kapan waktu yang tepat untuk belajar memanah dan berkembang menjadi atlet profesional?
Pertanyaan ini mungkin muncul di benak Anda, terutama yang tiba-tiba jatuh cinta dengan dunia busur dan anak panah. Saking asyiknya menarget sasaran hingga muncul pertanyaan dalam hati, ‘kenapa sukanya nggak dari dulu saja sih, ya?’
Banyak hal yang membuat seseorang merasakan jatuh hati dengan panahan. Secara fisik, olahraga ini memerlukan syarat yang lebih mudah. Tidak seperti sepakbola, bulutangkis, atau bahkan angkat besi, meski harus ada latihan untuk menguatkan otot lengan supaya lebih kuat menarik tali busurnya.
Anda tidak sendiri. Banyak orang yang jatuh cinta pada panahan di usia yang tak lagi muda. Seperti Arsjad Rasjid, yang menyukai olahraga ini karena merupakan sunnah Rasulullah, sekaligus karena panahan merupakan bagian dari tradisi bangsa kita. Kini ia memiliki kesempatan untuk mencurahkan ‘cintanya.’ Sebagai Ketua Umum PB Perpani, Arsjad punya target besar, yaitu agar para atlet panahan kita mampu meraih medali emas Olimpiade.
Apakah belajar memanah harus dimulai sedini mungkin?
Untuk yang ingin menjadi seorang atlet panahan, ketahuilah bahwa olahraga yang ramah dengan usia manusia ini bisa dipelajari kapan saja. Tetapi bagaimana bila ingin menjadi pemanah profesional?
Salah satu contohnya adalah atlet panahan Inggris, Ella Gibson, yang pernah diragukan seorang pelatih karena mulai belajar memanah sejak usia 16 tahun. Kisah Gibson, pelatih itu mengatakan bahwa untuk mencapai kesuksesan recurve, pemanah harus memulai dari usia yang sangat muda agar memiliki kesempatan lebih besar dan panjang dalam mengembangkan kesejajaran dan keseimbangan bahu yang diperlukan untuk melakukan tembakan recurve secara efektif.
Kenyataannya, Gibson mampu membuat banyak pencapaian dan memiliki peringkat profesional yang cukup baik untuk compound wanita tingkat dunia. Bahkan di bulan Agustus 2023 lalu, ia sempat membukukan catatan luar biasa dengan poin 150 menghadapi Jyothi Surekha Vennam dari India di Hyundai Archery World Cup, Paris.
Berbicara kepada worldarchery.sport, Gibson mengatakan bahwa pelatihnya salah omong. Meski secara teori terlambat untuk memulai, toh, dirinya tetap bisa melakukan yang terbaik.
“Tidak ada ruginya tiga bulan setelah mulai bergabung, saya memecahkan rekor nasional,” kata Gibson.
“Jadi itu seperti, oke, ya, aku percaya padamu,” timpalnya, menirukan ucapan sang pelatih setelah Gibson berhasil menunjukkan kemampuannya.
Dari ajakan tetangga, Sergio Pagni rengkuh gelar dunia
Cerita lain datang dari Sergio Pagni. Atlet compound asal Italia ini pernah menduduki peringkat satu dunia dan memiliki sepasang gelar dari Piala Dunia Panahan Hyundai. Pagni mengaku bahwa dirinya tidak belajar memanah secara serius hingga saat dirinya kuliah. Kemudian di usia hampir 30 tahun, Pagni melakukan debut internasional di tahun 2008 silam.
“Saya mulai sedikit berlatih dengan ayah setelah tahun pertama kuliah karena saya bermain bola basket hingga duduk di bangku SMA,” kenang Pagni.
Ia kemudian mengaku bahwa dorongan untuk belajar memanah itu datang dari omongan tetangga.
“Mereka berkata, ayolah, coba saja untuk menghabiskan malam bersama keluarga, dan saya bilang oke. Itu sebabnya saya memulainya, dan itulah mengapa saya memulainya di usia yang sangat tua,” jelasnya.
Belajar memanah di usia dewasa jadi keuntungan bagi Pagni
Tak seperti kisah Gibson dan pelatihnya, Pagni bersyukur mengenal dunia panahan di usia yang bisa dibilang, agak terlambat. Baginya, memulai olahraga ini sejak kecil, dan bukan sebagai penghobi saat kuliah, tidak serta merta mempercepat perkembangannya. Justru dengan terlebih dahulu fokus pada dunia lain dalam hidupnya membuat dirinya, secara tidak sengaja, meletakkan dasar bagi kesuksesan memanah di masa depan.
“Banyak anak muda yang tidak memahami apa artinya berkompetisi. Mereka mungkin menang, tapi mereka tidak fokus pada apa artinya membangun kebiasaan dengan sukses,” ujarnya.
“Kemudian mereka tumbuh dan mulai merasakannya, tapi sudah terlambat. Ada 1000 pemanah di kampung halaman yang tidak lagi menembak karena tidak mampu beradaptasi dengan perubahan besar ini,” imbuh Pagni.
Dalam karier memanahnya, Pagni telah mengikuti setidaknya 50 tahapan Piala Dunia Panahan Hyundai, sekaligus menjadi pemanah pertama yang memenangkan final sirkuit berturut-turut untuk tahun 2009 dan 2010.
Ia sendiri juga mengaku heran dengan perubahan yang begitu drastis setelah belajar memanah dan berkembang begitu mudah. Padahal secara umum dan fisik, Pagni tergolong terlambat untuk memulai belajar memanah.
“Secara fisik, saya tahu ini akan sulit, tetapi sejak awal saya selalu solid dan mampu melakukannya serta membuat perubahan teknis setelah tembakan demi tembakan,” tutur Pagni.
Perkataan Pagni mungkin ada benarnya. Dalam setiap kompetisi, seorang pemanah dituntut untuk memiliki fokus yang tinggi. Maklum saja, panah sasaran begitu kecil dengan jarak nun jauh di sana. Kelebihan ini dimiliki oleh para pemanah tua di mana mereka mampu meredam ketegangan dan tampil lebih tenang.
“Ketika Anda sudah dewasa dan kemudian memulai (belajar memanah), seperti yang saya lakukan, mental pikiran Anda sudah solid dan Anda tidak perlu khawatir tentang hal-hal seperti itu. Memulai dengan mentalitas seperti ini sangatlah berbeda,” pungkasnya.
Tak hanya kemenangan, panahan juga menumbuhkan persahabatan
Kisah lain mengenai belajar memanah di usia yang tak lagi muda juga dimiliki oleh Pierre-Julien Deloche. Sebagai peserta di Final Piala Dunia Panahan Hyundai 2018, Deloche mengatakan bahwa memanah itu proses penuaan.
Pierre-Julien Deloche kecil, di usia sembilan tahun pernah belajar memanah. Tapi kemudian ia meletakkan busurnya untuk fokus pada studi demi mengejar karier di Angkatan Laut. Satu dekade kemudian, Deloche kembali memegang busur dan panahnya, serta sukses melakukan debut internasionalnya di 2007 pada usia 25 tahun.
Menurut Deloche, memang ada kewajiban untuk menjadi yang terbaik di setiap kompetisi. Tetapi ada yang lebih berharga daripada medali emas atau peringkat terbaik dunia, yaitu perkenalan dan persahabatan bersama para peserta lain di sirkuit internasional.
“Saya lebih suka bersenang-senang dalam olahraga saya, dan saya merasa ada banyak orang baik dan orang terlucu di lapangan,” seloroh Deloche.
Ia juga menggambarkan panahan sebagai hal terindah dalam hidupnya. Sepulang kerja ia berlatih memanah dan merasakan aktivitas ini seperti angin sepoi-sepoi di hari yang melelahkan.
“Itu membuat saya senang berlatih dan menembak tanpa memikirkan hasil apa pun. Hanya melempar anak panah. Saya tidak selalu mencapai target,” ungkapnya.
Sergio Pagni dan Deloche mungkin bisa menjadi bukti bahwa belajar memanah tidak harus dimulai di usia dini dengan program-program berjenjang. Mereka sepakat bahwa karier tersebut bisa hadir kapan saja di kehidupan siapa saja. Bahkan, kedatangan yang ‘terlambat’ itu justru menjadi seperti angin segar, penangkal kebosanan di usia produktif dan banyak pekerjaan.
BACA JUGA: Berkenalan dengan Kim Soo-Nyung yang Disebut Sebagai Atlet Pemanah Terbaik di Dunia
Pagni bersyukur ia harus melalui jalan yang berputar untuk sampai pada puncak karier olahraganya. Bahkan, ia juga bertemu jodoh di dunia panahan yang juga sesama pemanah, Pia Lionetti.
Jadi, kapan saat yang tepat belajar memanah? Mungkin Anda perlu dengarkan nasihat tetangga Sergio Pagni. ‘Coba saja dulu, siapa tahu nanti jatuh cinta.’