NEW YORK – Penanggung Jawab Presidensi B20 Arsjad Rasjid menyampaikan komitmen Indonesia dalam pengembangan energi hijau ke depan. Untuk itu, dia mengajak dunia usaha, terutama dari negara-negara anggota forum kerja sama ekonomi internasional G20 agar menanamkan modalnya di Indonesia.
Pernyataan itu disampaikan dalam “Executive Roudtable: Investment Opportunities in the Year of Indonesia’s Presidency of G20-B20” yang diselenggarakan oleh Bloomberg New Economy Forum (BNEF) di New York, Amerika Serikat, pada 19-20 April 2022.
Saat ini Indonesia merupakan Presidensi G20 (Group Twenty), menggantikan Italia. Bagian penting dari kegiatan G20 adalah pertemuan dunia usaha dari negara-negara anggota yang dikenal dengan Business 20 (B20), yang akan digelar di Bali pada 13-14 November 2022.
Sebagai pembicara pada forum yang dihelat oleh BNEF tersebut, Arsjad menyampaikan bahwa salah satu fokus dalam Preisidensi G20 adalah transisi global menuju energi baru dan terbarukan dan zero emissions, paling lambat pada 2060. Pemerintah Indonesia, katanya, memiliki komitmen kuat untuk mendukung pengembangan energi bersih.
“Bahkan pada 2025, Indonesia menargetkan pemanfaatan energi baru dan terbarukan mencapai 23 persen pada pembangkit listrik,” paparnya dalam pertemuan yang dihadiri para pengusaha global tersebut.
Arsjad menegaskan, Indonesia memiliki potensi besar untuk memproduksi energi terbarukan, dari tenaga surya, hidroelektrik, panas bumi, hingga energi angin.
Potensi tersebut menjadikan peluang investasi pada sektor energi hijau di Indonesia menjadi semakin menarik. Dia memperkirakan nilai ekonomi dari ekonomi hijau mencapai US$100-125 miliar.
Sebagai contoh, bisnis yang sangat menguntungkan dalam sistem energi hijau adalah nikel, yaitu bahan baku vital bagi baterai lithium-ion yang sangat dibutuhkan oleh kendaraan listrik dan penyimpanan energi. Nikel juga merupakan kunci untuk energi hijau lain pada tahap berikutnya, seperti panel surya, hidrogen, maupun panas bumi.
Saat ini, dia melanjutkan, Indonesia merupakan produsen nikel terbesar di dunia, sehingga menjadi bagian penting dalam proses transisi menuju energi hijau. “Pada 2021, Indonesia diperkirakan menyumbang 37 persen pasokan nikel global,” ujarnya.
Nikel hanya satu di antara proyek hijau di Indonesia. Selain itu, kata Arsjad, masih ada sekitar 47 proyek hijau lainnya senilai US$11 miliar, termasuk di dalamnya pembangkit listrik dengan energi terbarukan. Mengingat tingkat permintaan energi terus tumbuh di Indonesia, nilainya pun berpotensi meningkat.
Pada kesempatan itu, Arsjad menjelaskan bahwa salah satu tantangan penting dalam pengembangan energi hijau, terutama terkait dengan kapasitas ekonomi, riset dan teknologi. Semua ini tidak dapat diatasi oleh satu negara.
“Perlu ada kolaborasi, karena biayanya sangat mahal,” ujarnya. Kerja sama dimaksud adalah sinergi antardunia usaha anggota G20.
Sebagai penutup, dia menegaskan, Kadin Indonesia siap memfasilitasi investasi melalui skema pembiayaan campuran (blended finance) untuk proyek unggulan G20 yang dia sampaikan. Termasuk di dalamnya, ekonomi sirkuler berbasis kehutanan, pembangkit energi terbarukan, kendaraan listrik, pertanian rendah karbon, klaster industri berkelanjutan dan pasar karbon Indonesia.