JAKARTA – Kenaikan harga sejumlah komoditas pangan yang antara lain diakibatkan kelangkaan pasokan harus menjadi momentum untuk melakukan evaluasi ketahanan pangan nasional. Pemerintah dan pengusaha dapat bahu-membahu mengatasinya.
Menurut Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Arsjad Rasjid, ketahanan pangan bukan sekadar ketersediaan. Lebih dari itu, ketahanan pangan harus mencakup keterjangkauan, kualitas dan keamanannya, serta sumber daya.
“Kita harus tangguh di seluruh aspek tersebut agar rakyat sejahtera,” ungkap Arsjad di Jakarta, 7 Maret 2022.
Menurut data “Global Food Security Index 2021” yang dikeluarkan oleh Economist Impact, kelompok usaha The Economist, Indonesia ada di urutan ke-13 dari 23 negara di kawasan Asia Pasifik. Bahkan untuk aspek kualitas dan keamanan pangan, Indonesia berada di urutan ke-3 dari bawah.
Fenomena yang terjadi belakangan ini, yaitu terjadinya kenaikan harga sejumlah komoditas seperti minyak goreng, kedelai, hingga gula dan daging sapi, memperlihatkan bahwa rentannya keamanan ketahanan pangan Indonesia. “Masalah ini harus menjadi perhatian serius demi menjaga stabilitas nasional,” ujarnya.
Jangan sampai, dia menambahkan, ketersediaannya cukup, namun keterjangkauan masyarakatnya bermasalah, misalnya dari sisi harga yang mahal. Kalau pun bisa, misalnya, kualitasnya rendah. Ini juga membuat ketahanan pangan nasional masih rentan.
Dari sisi harga, mengingat bahan baku pangan banyak yang didatangkan dari luar negeri, sehingga sangat sensitif terhadap perubahan di pasar internasional. Namun hal ini tetap dapat dimitigasi, jangan sampai terkaget-kaget saat ada kenaikan harga bahan baku.
Bahkan di dalam negeri saat ini, masih terjadi deviasi atau penyimpangan harga komoditas kebutuhan rumah tangga dari harga eceran tertinggi (HET) yang merupakan patokan pemerintah. Implementasi kebijakan ini harus dievaluasi secara ketat.
Saat ini, penyimpangannya sangat tinggi. Untuk minyak goreng curah misalnya, ketetapan HET 2022 sebesar Rp11.500 per kilogram. Faktanya, kalau mengacu pada data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS), yang dibayar konsumen mencapai rata-rata Rp16.900 per kilogram atau terjadi penyimpangan sekitar 47 persen.
“Kita memiliki alat pemantauan harga seperti melalui PIHPS, bahkan pemerintah juga memiliki instrumen pengendali melalui kebijakan HET, tapi pengendalian harga di lapangan masih perlu ditingkatkan,” papar Arsjad.
Karena itulah, Arsjad menyarankan agar peristiwa yang terjadi belakangan ini dapat dijadikan momentum bagi kita bersama untuk mengevaluasi, kemudian menyiapkan secara sistematis ketahanan pangan di dalam negeri. “Kami dari kalangan pengusaha siap menjadi bagian dari solusi tersebut,” katanya.
Arsjad menegaskan pentingnya ketahanan pangan, karena memiliki implikasi sosial yang sangat luas. Untuk menjaga ketahanan pangan yang lebih baik, dia menyatakan bahwa saat ini infrastruktur yang dimiliki pemerintah sudah memadai, namun perlu ditingkatkan agar lebih terintegrasi. Bahkan bisa bergandengan tangan dengan dunia usaha untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui ketahanan pangan tersebut.