Salah satu pendapatan negara kita ada pada pajak UMKM. Dengan melihat situasi saat ini, di mana ada lebih dari 60 juta unit usaha mikro, kecil dan menengah dalam negeri sehingga bisa dipastikan bahwa pendapatan dari UMKM merupakan pendapatan utama negara yang bersumber dari pajak.
Pajak yang dikenakan oleh Pemerintah kepada usaha mikro, kecil serta menengah adalah Pajak Penghasilan, yang pemungutannya dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat melalui Kementerian Keuangan. Dikutip dari kemenkeu.go.id, PPh memiliki prinsip keadilan yang artinya terdapat kesamaan dan pemerataan beban pajak yang wajib dibayar oleh masyarakat Wajib Pajak (WP).
Memajukan UMKM dengan dukungan dari banyak pihak, termasuk Pemerintah
Dengan vitalnya peran UMKM, tak heran bila perlu adanya dukungan dari banyak pihak untuk membantu pertumbuhan usaha mikro, kecil dan menengah di dalam negeri. Salah satu bentuk dukungan tersebut datang dari tokoh pengusaha nasional, Arsjad Rasjid.
Berbicara sebagai narasumber dalam podcast YouTube bersama Indrawan Nugroho, Arsjad menjelaskan UMKM perlu mendapatkan dukungan dalam menghadapi berbagai tantangan usaha yang terjadi saat ini, seperti disrupsi yang diakibatkan oleh teknologi, dampak panjang pandemi, hingga bertahan di tengah hantaman resesi.
“Kadin harus bisa membantu bagaimana nge-push (mendorong) policy (kebijakan) pada Pemerintah,” ucap Arsjad.
Dalam hal ini, Kadin Indonesia harus memposisikan diri sebagai corong suara yang mewakili pengusaha dengan menyampaikan masalah-masalah yang dialami pelaku UMKM terdampak agar Pemerintah bisa memahami dan memberi solusi. Misalnya, dengan meminta perpanjangan tenggang waktu pembayaran hutang.
Selain itu, perlu juga adanya upaya advokasi yang mampu memunculkan kebijakan yang membantu pelaku UMKM, khususnya, serta pebisnis lainnya agar bisa membenahi kondisi perusahaan mereka.
“Kalau dilihat, organisasi Kadin itu sangat mirror kepada Pemerintah karena regulasi banyak sekali yang keluar. Dan interconnected. Jadi kita melakukan hal itu,” imbuh Arsjad.
Pengenaan pajak UMKM sesuai dengan klasifikasi usaha
Terlepas dari pentingnya dukungan Pemerintah dan berbagai elemen terkait, UMKM Indonesia juga tetap harus menjalankan kewajibannya sebagai Warga Negara Indonesia dengan membayar pajak. Ini tak lepas dari peran UMKM sebagai tulang punggung perekonomian sehingga menjadi tumpuan untuk meningkatkan penerimaan negara.
Namun untuk menentukan besaran PPh, kita juga harus mengerti tentang klasifikasi pelaku usaha, mulai dari pengusaha mikro, kecil, hingga menengah.
Penurunan pajak UMKM menjadi 0,5%
Dilansir dari cnbcindonesia.com yang mengutip dari pajak.go.id mengenai pembagian kriteria usaha mikro, kecil, dan menengah dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil Menengah, pelaku usaha mikro adalah pengusaha yang memiliki aset maksimal Rp50 juta dan omzet maksimal Rp300 juta.
Kemudian usaha kecil adalah usaha yang memiliki aset lebih dari Rp50 juta sampai dengan Rp500 juta dan omzet lebih dari Rp300 juta sampai dengan Rp2,5 miliar. Sedangkan usaha menengah memiliki aset lebih dari Rp500 juta sampai dengan Rp10 miliar dan omzet lebih dari Rp2,5 miliar sampai dengan Rp50 miliar.
Dalam membantu pertumbuhan pengusaha dan usaha Tanah Air, Pemerintah memberlakukan tarif baru untuk pajak sektor UMKM, dari yang semula 1% menjadi 0,5%. Perlu diperhatikan juga mengenai catatan dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang menegaskan bahwa tarif pajak penghasilan (PPh) final sebesar 0,5% yang habis masa pengenaannya pada 2024 hanya bagi Wajib Pajak UMKM Orang Pribadi yang telah memanfaatkan ketentuan tarif itu sejak 2018.
Disampaikan oleh Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti, ketentuan tersebut sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan (PPh) atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu yang telah diperbarui dengan PP Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang PPh.
Catat! Tarif PPh final memiliki masa berlaku
Di dalam ketentuannya, tarif PPh final 0,5% berlaku untuk Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi atau Badan Dalam Negeri yang memiliki peredaran bruto dari usaha tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam satu Tahun Pajak. Tetapi, harus diperhatikan pula bahwa pengenaan tarif PPh final tersebut memiliki masa berlaku.
Seperti yang tercantum pada Pasal 59 PP 55 Tahun 2022, jangka waktu pengenaan tarif PPh final 0,5% paling lama 7 tahun untuk WP Orang Pribadi, sementara untuk WP Badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer (CV), firma, badan usaha milik desa/badan usaha milik desa bersama, atau perseroan perorangan yang didirikan oleh satu orang, dan 3 tahun untuk WP Badan Perseroan Terbatas, ketentuan paling lama 4 tahun.
“Jadi, misalnya Tuan A sebagai WP Orang Pribadi terdaftar tahun 2015, maka dia bisa menggunakan fasilitas tarif PPh final 0,5% mulai dari tahun 2018 sampai dengan tahun 2024. Sementara misalnya Tuan B terdaftar tahun 2020, maka dia bisa memanfaatkan tarif PPh final 0,5% mulai tahun 2020 sampai dengan tahun 2026,” terang Dwi yang disampaikan melalui siaran pers, November lalu.
Selain masa berlaku, berakhirnya tarif PPh final 0,5% juga bisa terjadi bila dalam suatu Tahun Pajak, peredaran bruto WP telah melebihi Rp. 4,8 milyar, atau ketika WP dengan kemauan sendiri memilih untuk melakukan penghitungan normal menggunakan tarif Pasal 17 UU PPh.
“Apabila dalam suatu Tahun Pajak berjalan, peredaran bruto WP telah melebihi Rp4,8 miliar, WP tersebut tetap dikenai tarif PPh final 0,5% sampai dengan akhir Tahun Pajak bersangkutan. Perhitungan normal baru dilakukan pada Tahun Pajak berikutnya,” imbuh Dwi.
Bila pengenaan tarif PPh final 0,5% berakhir, WP harus mencatat pembukuan untuk dapat menghitung PPh terutang menggunakan tarif Pasal 17 UU PPh. Tetapi bila sampai dengan akhir masa berlaku, WP masih memiliki peredaran bruto tidak melebihi Rp4,8 milyar, maka diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN).
Mengacu pada NPPN, Wajib Pajak perlu mengalikan peredaran bruto dengan norma atau persentase yang telah ditetapkan untuk setiap jenis usaha atau pekerjaan bebasnya. Tak hanya itu, Wajib Pajak juga wajib membuat pencatatan.
BACA JUGA: Pengertian UMKM, Jenis, Serta Kriterianya Menurut Undang-Undang
Agar lebih memudahkan dalam naik kelas, Pemerintah memberikan ‘insentif; untuk pajak UMKM dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan Pasal 60 PP 55 Tahun 2022. Adapun bantuan yang diberikan adalah dengan pembebasan pajak UMKM yang menggunakan tarif PPh final 0,5% atas bagian peredaran bruto hingga Rp. 500 juta dalam satu Tahun Pajak.