Istilah ‘netralitas karbon’ dalam beberapa waktu terakhir kian santer terdengar. Hal ini bersamaan dengan semakin sadarnya masyarakat dunia akan pembangunan berkelanjutan, menciptakan masa depan yang lebih aman, nyaman, bersih dan hijau bagi generasi-generasi penerus kita.
Sedikit menengok ke belakang, pada satu abad terakhir manusia mengeksploitasi penggunaan bahan bakar fosil secara besar-besaran yang digunakan untuk kebutuhan industri, transportasi, tenaga listrik, dan lain sebagainya. Memang, penggunaan bahan bakar ini memudahkan kehidupan. Tapi kita tidak bisa abai bahwa kerusakan lingkungan yang kita lakukan sudah sangat masif sehingga mengancam keberlangsungan hidup kita.
Kini banyak pihak mengatakan bahwa sudah saatnya mengatakan ‘cukup’ pada bahan bakar fosil. Komitmen untuk mewujudkan netralitas karbon digaungkan di mana-mana, termasuk Indonesia yang ingin mencapai target tersebut di tahun 2050.
Arsjad Rasjid serius ajak Indonesia menuju netralitas karbon 2050
Salah satu sosok yang tak pernah lelah mengingatkan dan mengajak masyarakat untuk mencapai netralitas karbon di tahun 2050 adalah Arsjad Rasjid. Hal tersebut ia sampaikan saat menjadi narasumber di podcast YouTuber bersama Gita Wirjawan.
Lewat perbincangan yang bertema ‘Bernegara dan Berbisnis di Tengah Machiavellianisme’ Gita bertanya tentang komitmen Arsjad terhadap netralitas karbon. Ia bertanya mengenai peran Arsjad dan Indika Energy dalam melakukan inovasi untuk benar-benar bisa mencapai target netralitas karbon di tahun 2050.
Menjawab pertanyaan tersebut, Arsjad mengaku sudah memiliki komitmen untuk mendukung net-zero emission Indonesia di tahun 2050. Banyak orang menganggapnya ambisius, tapi ia berpesan bahwa sebaiknya hal ini tidak dianggap sulit.
“Karena kalau sudah, ‘susah nih’, nah, jangan gitu dulu. Let’s reach the bar. Kita bilang, ‘Oke, kalau gue mau lari ke sana, ending-nya begini, how do we get there?’” kata Arsjad.
Dalam hal ini, Arsjad menjelaskan bahwa segalanya membutuhkan proses. Untuk itu, ia berharap masyarakat untuk ikut bergerak sambil mengamati perkembangan tersebut. Memang misi yang sangat sulit untuk mengubah kebiasaan masyarakat, termasuk perusahaannya. Dari penggunaan energi fosil batu bara, kemudian melakukan transformasi besar-besaran dalam waktu yang singkat menuju energi baru terbarukan.
“Untuk mencapai ke sana kan, oke, bagaimana nih? Makanya bisnis yang kita lakukan sekarang diversification kita lakukan di sana. Let’s commit to that,” tegas pria yang saat ini juga menjadi Ketua Umum PB Perpani tersebut.
Netralitas karbon ciptakan peluang dan tantangan
Dengan langkah transformasi ini, Arsjad memang memiliki tantangan untuk menjaga cash flow perusahaan di tengah keraguan banyak pihak terhadap langkah perusahaannya mewujudkan netralitas karbon.
“Ini (penggunaan energi fosil) mungkin not good, tapi cash flow-nya bagus kan? Yang ini (energi baru terbarukan) cash-nya kecil, Chief (Gita),” imbuhnya.
Secara lebih rinci ia menjelaskan tentang bisnis untuk penggunaan tenaga matahari sebagai sumber energi. Arsjad menganggap bahwa solar business memiliki lebih banyak manfaat ketimbang sumber energi fosil, misalnya batu bara. Metode ini juga sudah diterapkan di luar negeri.
“Amerika itu gila. Mungkin the way we think (is) different. Ini permainannya bukan permainan bottom line, tapi thinking-nya bicara bagaimana value of this multifikasi, of equity kita tadi, yang 50 kali (lebih bermanfaat) tadi, walaupun profitnya sedikit,” terang Arsjad.
Itulah yang diinginkan Arsjad. Bukan hanya melakukan transformasi energi, tetapi juga mengubah cara berpikir masyarakat Indonesia menjadi seperti luar negeri. Salah satu metode yang ia lakukan di perusahaannya adalah dengan melakukan mixing antara personel dari dalam dan luar negeri agar lebih mudah melakukan perubahan di dalam organisasinya.
“Tapi yang paling penting berani, sih. Karena in the end, we have to decide, dan yang di atas harus berani membuat keputusan perubahan itu,” tutur Arsjad.
Butuh biaya besar untuk netralitas karbon, mampukah Indonesia?
Lebih lanjut, Gita Wirjawan mencoba lebih menantang Arsjad Rasjid. Ia mengemukakan fakta bahwa dalam menyediakan pasokan energi yang baru terbarukan, sekaligus mengganti pembangkit-pembangkit energi yang menggunakan bahan bakar fosil itu tak hanya membutuhkan upaya, tetapi juga biaya. Dalam hal ini, dana yang dibutuhkan sangat besar.
“Jadi bagaimana ini, kita beraspirasi untuk netralitas karbon tahun 2050 atau 2060. Tapi gimana nyari 600-700 miliar dolar?” tanya Gita.
Menjawab pertanyaan ini, Arsjad mengingatkan bahwa hal pertama adalah bicara tentang netralitas karbon terlebih dahulu. Dalam hal ini, ia menjelaskan bahwa pasti ada ‘plus dan minus,’ yang berarti juga termasuk bagaimana caranya mewujudkan biaya super besar untuk transformasi energi ini.
Bicara tentang biaya, mungkin akan terasa sulit. Kita memiliki banyak potensi lain yang bisa digunakan sebagai pembangkit listrik dengan harga yang lebih murah. Misalnya, penggunaan tenaga nuklir. Walau begitu, Arsjad mencoba untuk tetap realistis dengan mempertimbangkan faktor keamanan.
Untuk itu, alumnus Pepperdine University, AS tersebut mengatakan bahwa masih banyak alternatif pembangkit energi lain yang bisa kita eksploitasi. Selain tenaga matahari, Indonesia juga dilimpahi dengan panas matahari, aliran air, hingga panas bumi yang melimpah.
“We have to fix dulu, nih. Larinya mau ke mana? Jangan kita ubah-ubah terus. First thing first, itu dulu karena sebetulnya begini. Uang itu sebetulnya akan datang, I believe that, kalau atraktif. Kalau nggak atraktif siapa yang mau?,” jelasnya
“Ada return, dan uang akan mencari, kok. Money is, for me, money itu pintar. Di mana ada opportunity yang baik, ada return, pasti uang masuk,” lanjutnya.
Untuk itu, Arsjad menegaskan bahwa kita harus memiliki rancangan program yang sangat jelas demi mendukung netralitas karbon. Itulah mengapa Indonesia memiliki roadmap menuju 2045 dan ia berharap bangsa ini stick to the plan.
“Kalau berubah-ubah terus investor juga pusing. Mana mau duit datang ke sini? Jadi menurut saya back to basic dulu karena complicated untuk kita bicara hanya gigawatts, ya,” terangnya.
Indonesia harus punya strategi dan upaya kuat untuk netralitas karbon
Menanggapi pernyataan tersebut, Gita menjelaskan bahwa inti dari permasalahan yang disampaikan bukan hanya tentang energy security. Yang lebih paradoksal adalah para ahli sustainability seperti memaksa masyarakat untuk mencapai netralitas karbon tanpa adanya realisme mengenai kondisi di negara berkembang yang mengutamakan ketahanan energi.
Serta bagaimana mencapai itu juga harus melihat pada daya beli masyarakat. Dalam pandangan Gita, penggunaan energi dari bahan bakar selain fosil akan menuntut rakyat untuk membayar lebih mahal.
Jadi, apakah penggunaan energi baru terbarukan sudah tepat untuk dijalankan di Indonesia atau negara-negara berkembang lainnya?
Arsjad mengingat pertemuannya dengan seorang petinggi dari Amerika Serikat. Pejabat tersebut mengingatkan Arsjad mengenai penggunaan bahan bakar batu bara yang banyak digunakan di Indonesia untuk membangkitkan listrik. Disebutkan Arsjad bahwa sosok tersebut sangat peduli lingkungan dan berharap pembangkit-pembangkit listrik tersebut harus shutdown.
“Boleh, bos. Mana duitnya? Nggak bisa sembarangan gitu aja, Chief. Gue bilang, kalau ada duitnya, kita ganti,” jelas Arsjad.
Bagi Arsjad, tidak mudah melakukan transisi energi. Semuanya butuh waktu dan proses, juga takes a lot of money. Itulah mengapa sebuah negara memiliki karakter untuk menciptakan rencana-rencana, bukan dengan mengikuti cara masyarakat luar yang sudah pasti berbeda dengan negara kita.
Bicara tentang Indonesia, Arsjad mencoba mengulik tentang porsi penggunaan karbon yang paling besar, yaitu dari industri, transportasi, serta sebagai pembangkit listrik. Sedikit menarik ke belakang, Arsjad juga mengingatkan bagaimana bersihnya udara Jakarta di kala Pandemi padahal saat itu dunia industri juga masih berjalan seperti biasa. Kesimpulannya, penyumbang emisi terbesar di negara ini sebenarnya adalah transportasi.
“Kita lihat, nih, mana yang paling besar. Kalau ini yang paling besar, oke. How do you solve this problem? Di sisi transportasi ini, makanya (solusinya) mobil listrik, kendaraan listrik, right?” tukas Arsjad.
Bagi Arsjad, mencapai sustainability dengan netralitas karbon itu seperti mengurai benang kusut. Untuk negara berkembang seperti Indonesia, akan lebih baik bila satu per satu masalah diselesaikan terlebih dahulu ketimbang menghamburkan uang untuk menghabisinya sekaligus karena faktanya, kita tidak memiliki dana sebesar itu.
Karena itu, kita membutuhkan lebih dari sekadar strategi. Indonesia butuh masyarakat yang sepakat dan mau bekerja sama untuk menciptakan netralitas karbon.
“Jadi kalau kita bicara strategi, kita bicara totality strategy semua. Ujungnya yang penting bottom-nya emission. Net-zero. Jadi kita mesti lihat di sana, approach ini yang mesti kita diskusikan sama teman-teman semua. Yang mana, I think everybody agrees. Tujuannya sama, kok. Let’s work together,” tegas Arsjad.
“Electric vehicle itu keren menurut saya dan we have to push it. Di situ juga ada energy security. Kita nggak import itu fuel (bahan bakar), at the same time, subsidi untuk fuel juga bisa kurang. Jadi ini tackling satu hal tapi bisa melakukan banyak situasi kondisi, dan ekosistem baru lagi untuk business to grow,” sambungnya.
BACA JUGA: Dorongan untuk Capai Emisi Net Zero Carbon jadi Keypoint Arsjad di ASEAN Climate Forum
Sekali lagi Arsjad menjelaskan bahwa dalam mewujudkan netralitas karbon, kita tidak bisa hanya memandang ke satu arah. Bangsa ini harus melihat masalah dan solusi secara keseluruhan sebagai a whole country strategy.
Ia juga berharap dalam pemerintahan periode berikutnya bakal ada seseorang yang menjabat sebagai Chief Sustainability Officer dan memiliki fokus kerja untuk mewujudkan netralitas karbon.