Banyak usaha yang mengalami dampak negatif akibat hantaman gelombang resesi dunia. Salah satunya adalah pada industri tekstil di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) menghantui para pekerja.
Kondisi ini diperparah dengan produsen-produsen industri tekstil yang membanjiri pasar Indonesia. Wajar saja, karena di negara ini resesi tidak terlalu terasa sehingga daya beli masih cukup tinggi. Tetapi kenyataannya, banyaknya produk impor berimbas pada industri tekstil dalam negeri karena daya saing yang semakin kuat sehingga ancaman terhadap para pekerja akibat berkurangnya produksi dan daya beli.
Minim dukungan, industri tekstil Indonesia sangat menyedihkan
Melihat ruwetnya situasi di industri tekstil Indonesia, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Arsjad Rasjid menyebut secara gamblang bahwa hal ini sangat menyedihkan. Berbicara dengan CNBC Indonesia, ia memiliki beberapa poin penting menyikapi gejolak pada industri tekstil Indonesia.
“Number one, Perbankan Indonesia harus melihat industri tekstil ini, jangan sebagai sunset industry,” kata Arsjad.
Ia menambahkan bahwa harus ada optimisme dari semua pihak untuk mendukung keberlangsungan industri tekstil Indonesia. Arsjad mengatakan bahwa Perbankan juga harus bisa melihat industri ini sebagai rising industry yang juga menjadi sumber penghidupan masyarakat.
“Saya melihat bahwa dukungan Perbankan terhadap yang namanya industri tekstil ini kurang. Harus didukung, nih,” tegasnya.
Pasar domestik kebanjiran tekstil luar negeri
Selain mengenai kurangnya dukungan dari sektor Perbankan terhadap industri tekstil, Arsjad juga memperhatikan tentang pasar produk-produk tekstil. Lebih lanjut ia menjelaskan tentang banjirnya produk-produk impor di market dalam negeri.
“Saya melihat ada batik, tapi batiknya buatan luar. Itu sedih, lho!” ungkap Arsjad.
Akibat semakin kerasnya persaingan pasar, Arsjad berharap semua pihak bisa menciptakan strategi yang lebih baik dan mendukung usaha industri tekstil dalam negeri. Jangan sampai barang-barang dari luar masuk begitu saja dan menguasai pasar kita. Indonesia harus bisa menjaga dan melindungi pemain-pemain sendiri.
Menurut Arsjad, dari angka 20-30 milyar dollar itu adalah dari industri tekstil. Sebuah angka yang sangat besar dan harus dijaga dan ditumbuhkembangkan agar memberi manfaat lebih bagi negara.
“Kalau kita bisa pertahankan ini, tidak termakan dengan barang-barang yang dari luar, ini untuk industrinya (tekstil) baik,” tutur Arsjad.
Waspadai akal-akalan pihak lain kelabui persaingan dagang Indonesia
Sayangnya, apa yang diharapkan oleh Arsjad terhadap industri tekstil dalam negeri tidak sesuai keinginan. Menurut Presiden Direktur PT Indika Energy Tbk. ini, yang terjadi sekarang di pasar industri tekstil adalah banyak barang-barang dari luar yang masuk. Parahnya lagi, barang-barang tersebut tidak terkena bea yang sesuai. Sebuah strategi ekonomi sebuah negara untuk menyerbu pasar Indonesia.
“Jadi seakan-akan kayak dumping. Tapi dengan cara mereka, pinter-pinternya mereka (dalam memasarkan sehingga terhindar dari bea),” terang Arsjad.
Ia juga mengingatkan bahwa perang ekonomi kian hari kian terasa. Sebuah pertempuran yang tidak lagi menggunakan senjata api atau senjata tajam, tetapi lewat perjanjian-perjanjian yang mengikat suatu negara agar patuh terhadap peraturan negara lain.
“Kita harus pintar-pintar. Kita harus bisa melihat, ‘Oh, serangannya dimulai dari sini.’ Ini yang harus kita jaga,” lanjutnya.
Dengan kekhawatiran terhadap persaingan dagang dari negara lain, Arsjad berharap pemerintah bersama masyarakat bisa mengimbangi dengan merencanakan strategi-strategi ‘perang’ menghadapi persaingan usaha ini. Bila kita bisa menjaga market, kecil kemungkinan terjadi ancaman-ancaman yang bisa menghentikan industri tekstil dalam negeri, termasuk ancaman PHK terhadap banyak karyawan.
Arsjad mengingat kembali pernyataan seorang rekan bisnis yang mengatakan, andai saja market Indonesia tidak diganggu, industri tekstil dalam negeri bisa menghadapi resesi. Malahan, perusahaan-perusahaan tekstil juga bisa lebih kompetitif karena bisa melakukan ekspor ke luar negeri.
“Ini yang harus kita sadari. Jadi saya bilang bahwa strateginya, kita harus melihat ini (sebagai) perang. Jangan nyantai-nyantai saja. Juga kepada teman-teman, tolong jagain, jangan sampai barang masuk. Kenapa? Ini akan mematikan yang namanya UMKM,” pungkas Arsjad.