Karakteristik Gen Z seringkali dianggap sebagai generasi yang malas, lebih suka sesuatu yang instan dan terlalu mudah kena mental dalam menghadapi permasalahan hidup.

Namun, Arsjad Rasjid menggunakan sudut pandang yang berbeda untuk memahami fenomena ini. Menurutnya, kemalasan bukan sesuatu yang dapat dipukul rata untuk sebuah generasi.

Ada perspektif menarik untuk memahami karakteristik Gen Z dari Arsjad, agar generasi pendahulunya juga dapat lebih bijak dalam menyikapi perbedaan tersebut. Berikut ini penjelasan lengkapnya.

Karakteristik gen Z dan tantangan di era dunia VUCA

Untuk memahami kepribadian generasi, kita perlu melihat konteks zaman yang mereka jalani. Arsjad Rasjid mengingatkan bahwa saat ini Gen Z hidup di tengah tantangan global VUCA (volatility, uncertainty, complexity, ambiguity).

Hal ini menjadikan tantangan mereka penuh dengan perubahan yang cepat dan ketidakpastian. Selain itu, gen Z harus menghadapi ambiguitas dan kompleksitas yang tinggi untuk dapat menentukan langkah masa depannya, seperti dalam hal pekerjaan.

Arsjad Rasjid mengatakan bahwa menurut data di tahun 2023, sekitar 9,9 juta gen Z pengangguran dan tidak menempuh pendidikan. Kompetisi di dunia kerja berjalan dengan sangat ketat, dinamikanya pun berubah dengan cepat, serta adanya beban ekspektasi yang tidak realistis.

Tantangan VUCA yang berdampak pada psikologi gen Z

Hal ini juga memberikan dampak secara psikis, di mana gen Z yang memiliki awareness tinggi terhadap kesehatan mental, justru juga dihadapkan dengan permasalahan tersebut. Di antaranya karena tuntutan hidup, perubahan sosial dan ekonomi, memberikan tekanan tersendiri yang tentu berbeda dari generasi sebelumnya.

Salah satu faktor penyebabnya adalah karena gen Z yang tumbuh dan dibesarkan oleh digitalisasi, juga dituntut untuk siap dan cepat, sehingga berpengaruh pada kesejahteraan mentalnya. Oleh sebab itu, pemberian label ‘lemah’ pada generasi ini, seringkali terjadi karena ketidakpahaman generasi pendahulunya terhadap situasi yang mereka hadapi.

Beda zaman, beda pendekatan

Generasi pendahulu gen Z memang dididik untuk lebih mampu menahan emosi dan perasaan. Sedangkan Gen Z memiliki pola komunikasi yang lebih transparan dan ekspresif, sebagai cara untuk melepaskan tekanan batin dan lingkungan yang lebih inklusif.

Perbedaan pandangan tentang pendekatan dan komunikasi ini, melahirkan sebutan bagi gen Z seperti “rapuh” atau “kurang tangguh”. Arsjad mengingatkan bahwa beda zaman, maka berbeda pula pendekatan serta komunikasi yang digunakan.

Namun di sisi lain, situasi ini bisa jadi merupakan bentuk ketidakmampuan generasi senior dalam memahami pendekatan dan pola komunikasi baru dalam mengekspresikan ketangguhan emosi. “Cara kita mengukur ketahanan mungkin bias karena tidak memperhitungkan perbedaan ekspresi antar generasi,” kata Arsjad.

Mengikis label dan mengatasi stereotipe: kuat atau lemah itu tergantung dari mindset

Label seperti “malas”, “rapuh”, atau “instan” yang diberikan kepada Gen Z dapat menciptakan kesenjangan antar generasi. Arsjad Rasjid percaya bahwa kekuatan atau kelemahan seseorang lebih ditentukan oleh mindset daripada menggeneralisasi karakter generasi.

Ada dua jenis mindset, kata Arsjad, yang dapat kita lihat dari setiap pribadi individu. Yang pertama adalah fixed mindset, di mana orang tersebut cenderung menjauhi tantangan dan enggan mengambil risiko. Sedangkan ada juga yang memiliki growth mindset, yang memiliki keinginan untuk belajar, berkembang dan terus produktif.

BACA JUGA: Pesan Arsjad Rasjid Kepada Para Gen Z Indonesia yang Sedang dalam Persimpangan Hidup

Pada akhirnya, Arsjad Rasjid berpesan bahwa perlu ada komunikasi yang lebih terbuka dan saling menghargai antar generasi, sehingga dapat mengikis label serta stereotipe yang sering kita buat. Dengan komunikasi, kita dapat memiliki pemahaman yang lebih baik serta menerapkan pendekatan yang sesuai dalam berinteraksi antar generasi.

You may also like

More in News