Krisis harga batu bara menjadi pembelajaran berharga bagi perusahaan untuk tidak boleh terlena dan cermat dalam membaca proyeksi bisnis batu bara ke depannya. Krisis batu bara tidak membuat manajemen Indika Energy kapok, justru semakin bergairah untuk menambang “emas hitam” ini.
Pada 25 September 2017, Indika Energy melalui anak usahanya PT Indika Inti Corporindo, mengakuisisi tambahan 45 persen saham PT Kideco Jaya Agung— perusahaan tambang batu bara terbesar ketiga di Indonesia dengan volume produksi 32 juta ton per tahun—dari Samtan Co Ltd dan Muji Inti Utama dengan nilai pembeilan USD 677,5 juta.
Untuk membiayai akuisisi ini, perusahaan menerbitkan surat utang. Dengan akuisisi ini, Indika Energy menjadi pemegang saham mayoritas sebesar 91,0 persen di Kideco. Lahan tambang Kideco berada di Kalimantan Timur dengan luas 50,9 ribu hektare dengan cadangan batu bara mencapai 422 juta ton. Kideco memegang hak pertambangan batu bara sampai 2023 di bawah Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu bara (PKP2B) generasi pertama.
Langkah Indika Energy melalap saham Kideco memberi sinyal bahwa masa depan bisnis batu bara masih cerah. Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia, cadangan batu bara Indonesia diperkirakan bakal habis sekitar 82 tahun ke depan apabila digali rata-rata 255,7 juta ton per tahun.
Meski ada tren dunia—seperti Tiongkok dan India yang selama ini memakai batu bara sebagai sumber energi pembangkit listrik mereka mulai beralih ke sumber energi yang lebih bersih seperti LNG—toh hal itu tidak serta merta bisa diartikan bisnis batu bara akan meredup. Pasalnya, harga LNG terbilang lebih mahal untuk ongkos produksi pembangkit listrik ketimbang batu bara yang sampai saat ini terbilang paling murah.
Meski isu lingkungan hidup menjadi sorotan tajam terkait pemanfaatan batu bara sebagai sumber energi, tetapi negara-negara berkembang di Asia, seperti Filipina, Vietnam, Myanmar, Pakistan, Laos, Kamboja, termasuk Indonesia, masih mengandalkan batu bara sebagai sumber energi untuk pembangkit tenaga listrik mereka.
Hal ini karena batu bara relatif lebih murah dibanding sumber energi lainnya. Setidaknya, kata Arsjad, untuk kurun lima tahun ke depan, Indika Energy masih mengandalkan sumber pendapatan dari batu bara. Setidaknya, 80 persen dari pendapatan perusahaan berasal dari batu bara.
Mengantisipasi tren dunia yang mengarah ke renewable energy, Indika Energy mulai mempersiapakan lini usaha nonbatu bara. Tujuannya untuk mengejar target menyumbang 25 persen dari total pendapatan perusahaan. Inilah small step keempat perusahaan.
Untuk mendongkrak pendapatan dari nonbatu bara itulah perusahaan terus mencoba melakukan ekspansi secara organik maupun nonorganik. Misalnya, rencana perusahaan membangun fasilitas penyimpanan produk bahan bakar di Kalimantan Timur senilai USD 108 juta melalui PT Kariangau Gapura Terminal Energi (KGTE). Di bisnis ini, KGTE bermitra dengan ExxonMobil untuk kurun waktu 20 tahun. “Dari fasilitas penyimpanan bahan bakar ini, ada pemasukan rutin buat perusahaan,” ujar Arsjad.
Dalam beberapa tahun terakhir, misalnya, PT Petrosea Tbk yang hampir 70 persen kepemilikan sahamnya dikuasai Indika Energy, mengerjakan proyek nonbatu bara, yaitu pembangunan tanggul di area tambang PT Freeport Indonesia di Papua.
Selama ini, Petrosea menggarap jasa rekayasa konstruksi dan kontraktor pertambangan batu bara. Melalui anak usaha lainnya, PT Tripatra Engineers & Constructors (100 persen sahamnya dikuasai Indika Energy) mengerjakan pembangunan pembangkit listrik berkapasitas 25MW di Nias. Tripatra merupakan perusahaan engineering, procurement, dan construction (EPC) untuk industri migas, seperti menangani Blok Cepu di Jawa Timur dan kilang LNG di Blok Tangguh-Papua.
Indika Energy juga menjadi salah satu pemilik dari Cirebon Electric Power (CEP), pembangkit listrik bertenaga uap batu bara dengan kapasitas 660 MW dan saat ini sedang membangun perluasan PLTU berkapasitas 1 x 1.000MW di Cirebon.
Tidak hanya itu, Indika Energy juga memperhatikan tren bisnis energi ke depannya yang akan mengarah ke renewable energy, seperti matahari (solar), air (hydro), dan angin (wind). Namun, itu semua masih dalam tahapan penjajakan dan persiapan, sambil menanti lingkungan bisnis renewable energy termasuk kematangan dan kesiapan regulasi yang menyertainya.
Sampai di sini, empat small step Indika Energy (efisiensi, optimalisasi aset, liability management, dan ekspansi usaha di bidang nonbatu bara) sudah membuahkan hasil yang luar biasa berupa laba bersih pada 2017. (selesai/VED)