Mencari validasi adalah keinginan untuk diakui oleh orang lain. Fenomena ini cukup umum dan bisa terjadi di tempat kerja, hubungan personal, atau di media sosial.

Banyak milenial dan Gen Z mencari validasi lewat media sosial dan teknologi. Mereka memperhatikan seberapa banyak likes atau pujian yang diterima.

Namun, kebiasaan mencari validasi ini bisa berdampak negatif pada perilaku dan emosi seseorang. Arsjad Rasjid mengajak kita memahami bahwa mindset ini adalah hal yang sebaiknya tidak kita pelihara. Simak pembahasan menariknya di bawah ini.

Contoh dan penyebab suka mencari validasi menurut Arsjad Rasjid

Kita seringkali tidak menyadari telah bergantung pada validasi orang lain. Arsjad Rasjid memberikan beberapa contoh tanda-tanda seseorang terjebak dalam kebutuhan akan pengakuan orang lain.

“Udah kerja keras presentasi lancar, tapi kok masih ngerasa kurang kalau belum dapat pujian,” kata Ketua Umum Kadin Indonesia tersebut.

“Merasa insecure kalau postingan Instagram nggak rame likes-nya. Itu tandanya kamu terjebak lubang validasi,” tambahnya.

Menurut Arsjad, kebiasaan ini bisa berakar dari pengalaman masa kecil. Sehingga seseorang jadi haus pengakuan agar merasa berharga ketika mereka sudah dewasa.

Dampak membiasakan diri tergantung pada pengakuan orang lain

Arsjad mengingatkan pada generasi muda yang masih sering haus akan validasi orang lain. “Tapi ingat, yang namanya validasi orang lain itu cuma sementara,” ia menambahkan.

Ketika seseorang menggantungkan diri di atas pujian dan pengakuan orang lain, harga dirinya akan naik turun seperti roller coaster. Ketika mendapatkan sanjungan dan apresiasi dari orang lain, ia jadi sangat bersemangat dan bangga pada dirinya.

Namun saat pujian itu sedikit atau tidak ada sama sekali, rasa percaya diri dan menghargai dirinya sendiri akan melemah. Muncul rasa insecure atau perasaan negatif lainnya karena tidak terbiasa menghargai kemampuan dan pencapaian diri sendiri.

Cara mengatasi kebiasaan mencari validasi orang lain

Pada dasarnya manusia memang memiliki kebutuhan untuk merasa dihargai dan diterima. Mendapatkan pengakuan dan sanjungan dari eksternal dapat memberikan rasa percaya diri dan aman.

Namun, mengandalkan validasi orang lain secara berlebihan bisa berdampak negatif. Seperti kehilangan jati diri, tidak percaya diri hingga mudah stres dan cemas karena merasa perlu memenuhi ekspektasi orang lain.

“Berhenti mencari validasi. Fokus ke dirimu,” Arsjad Rasjid mengingatkan. Menurutnya, beberapa cara ini bisa membantu seseorang lepas dari rasa haus pengakuan orang lain.

1. Ganti pikiran negatif dengan afirmasi positif

Kita adalah apa yang kita pikirkan dan ucapkan. Maka, buat afirmasi positif yang bisa kita lihat dan ucapkan.

Tuliskan di sekitar meja kerja atau pasang sebagai wallpaper di smartphone, beberapa afirmasi seperti, “Saya cukup, saya berharga.” atau “Terima kasih sudah bekerja keras sejauh ini.”

Ucapkan dan terapkan setiap hari, maka akan membantu kita lebih bisa menghargai diri sendiri.

2. Rayakan apa yang menjadi pencapaian

Merayakan pencapaian walau kecil dan sederhana, merupakan bentuk penghargaan pada diri sendiri. Dengan metode ini, dapat membangun kebiasaan positif dan meningkatkan motivasi untuk pencapaian yang lebih tinggi.

Rayakan dengan cara yang sesuai dengan kondisi kita. Misalnya membeli barang atau makanan yang diinginkan atau merayakannya dengan orang yang sudah mendukung kita.

3. Mensyukuri pencapaian

Jangan lupa untuk bersyukur bahwa ternyata kita dapat menyelesaikan suatu pekerjaan atau proyek dengan hasil yang baik. Cara ini juga merupakan bentuk penghargaan atas kerja keras yang telah kita lakukan.

Dengan mensyukuri pencapaian, kita telah memberikan validasi dari dalam diri atas kemampuan yang kita optimalkan untuk melakukan sesuatu.

4. Fokus pada pengembangan diri

Arsjad Rasjid mengatakan bahwa kita hanya perlu fokus ke pengembangan diri, bukan penilaian orang lain.

Dengan demikian, tidak ada ruang untuk insecure atau iri, karena sudah mengenali dan menerima potensi serta kelemahan yang dimiliki.

5. Kelilingi diri dengan komunitas yang suportif

Pilih relasi atau komunitas yang mendukung proses pengembangan diri dengan tidak hanya fokus pada hasil yang dicapai atau popularitas.

Jangan lupa tetap membangun hubungan yang sehat dengan anggota komunitas atau relasi tersebut. Beri dukungan dan apresiasi yang tulus kepada orang lain, sehingga kita juga akan menerima timbal balik yang sama, bukan sekadar validasi.

BACA JUGA: Sudah Dewasa tapi Masih Dianggap Anak Kecil, Ini Petuah Arsjad Rasjid

Memiliki mindset mencari validasi dari orang lain dapat melemahkan kepercayaan diri dalam diri seseorang. Kenali kemampuan dan kelemahan dalam diri kita, hargai kerja keras yang telah diupayakan, serta fokus pada pengembangan diri, supaya tidak tergantung pada pengakuan orang lain.

You may also like

More in News