Indonesia tampaknya sedang darurat kesehatan mental. Maraknya kasus-kasus bunuh diri hingga fenomena depresi yang dialami oleh anak-anak muda generasi yang nantinya akan menjadi penerus bangsa tentu menimbulkan kekhawatiran dari kita semua, terutama dari para orang tua.
Menurunnya kesehatan mental pada anak muda Indonesia juga menimbulkan tren lainnya. Makin banyak bermunculan berita-berita tentang bunuh diri. Bahkan tidak sedikit yang melakukannya di kawasan publik.
Makin banyak anak muda sulit jaga kesehatan mental mereka
Salah satu sosok yang sangat concern dengan semakin meningkatnya fenomena depresi pada anak muda adalah Arsjad Rasjid. Lewat video terbarunya di Instagram, Arsjad menaruh perhatian pada semakin meningkatnya tren bunuh diri di kalangan Gen Z.
“Saat mendengar beberapa kasus bunuh diri yang belakangan tengah marak di kalangan mahasiswa. Sebagai orang tua, saya sedih mendengarnya,” kata Arsjad.
Arsjad memaparkan data dari Kementerian Kesehatan RI di tahun 2018 yang menunjukkan bahwa satu dari 16 orang berusia 15 tahun ke atas mengalami gangguan kesehatan mental atau depresi. Tampaknya, angka tersebut kian tahun, kian meningkat.
“Ada 826 kasus bunuh diri sepanjang tahun 2022. Meningkat 34,7 persen. Bayangkan! Dibanding tahun sebelumnya,” imbuhnya.
Penyebab gangguan kejiwaan pada anak muda
Dikutip dari hellosehat.com, ada penyebab-penyebab dari meningkatnya kasus depresi pada anak muda. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
Diagnosa kesehatan mental yang semakin modern
Beberapa dekade lalu perubahan sikap atau mood pada anak muda masih dianggap wajar sehingga depresi tidak terdiagnosa oleh para ahli kesehatan jiwa dengan baik. Dengan semakin meningkatnya ilmu kesehatan, semakin banyak pula gangguan jiwa yang terdeteksi sehingga bisa diklasifikasi ke berbagai kriteria. Hal ini juga semakin meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap kesehatan mental.
Stimulasi berlebihan dan konektivitas yang terlalu cepat
Generasi muda zaman sekarang sangat erat kaitannya dengan internet. Mereka tumbuh dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat sehingga tak hanya menimbulkan dampak positif, tetapi juga negatif pada psikologi mereka. Salah satunya adalah dengan anggapan tentang penghargaan terhadap diri sendiri yang sebatas komentar atau jumlah like yang didapat lewat media sosial.
Ketidakpastian
Tak hanya itu, kondisi sosial yang lebih banyak dilakukan dan didapatkan di dunia maya juga menimbulkan ketidakpastian. Lewat berbagai interaksi, internet atau media sosial memberikan dampak stres kepada generasi muda. Bisa kita lihat, begitu mudahnya seseorang melakukan perundungan karena berlindung di balik akun anonim. Begitu juga dengan mudahnya informasi yang didapatkan yang mengarah pada kejahatan, kerusakan lingkungan, dan berita-berita sensitif lainnya yang mampu memberi pengaruh pada kondisi kesehatan mental anak muda.
Kurangnya waktu istirahat
Aktivitas bermain game dan berinteraksi dengan teman-teman melalui dunia maya sering membuat seseorang lupa waktu. Tak terasa, jam tidur pun berkurang hingga bahkan begadang semalaman.
‘Nanggung! Sebentar lagi sudah pagi,’ begitu alasan standar mereka.
Tak hanya karena game dan interaksi juga. Tekanan pekerjaan atau pelajaran juga membuat banyak anak muda mengalami gangguan waktu istirahat. Padahal, kurang tidur juga akan berdampak pada kondisi fisik dan psikologis remaja.
Lemahnya dukungan komunitas pada anak muda
Dengan berbagai tekanan hidup dan ‘laju putaran dunia’ yang terasa kian cepat, kita membutuhkan dukungan dari orang-orang atau komunitas agar mampu menghadapi tantangan. Sayangnya, ketidakpedulian masyarakat mengurangi jumlah komunitas yang memberi support pada perkembangan kesehatan mental anak muda.
Dengan minimnya dukungan komunitas, muncul masalah baru. Gangguan kejiwaan tak terdeteksi, kesehatan mental tak tertangani, semakin bermunculan generasi yang mengalami depresi.
Tingkatkan kepedulian pada kesehatan mental generasi muda kita
Dengan dampak yang sangat besar bagi masyarakat, tak heran bila Arsjad Rasjid dan kita semua mengkhawatirkan kondisi tersebut. Banyak pihak yang mulai concern atau peduli dan memulai gerakan untuk meningkatkan kesehatan mental anak muda Indonesia.
Sayangnya, meski kepedulian terhadap kesehatan mental semakin digaungkan, masih banyak masyarakat yang memberikan cap atau stigma negatif bagi penderita gangguan kejiwaan.
“Misalnya, labeling seperti ‘mental tempe,’ ‘lemah,’ ‘berkelebihan,’ ‘manja,’ dan sebagainya,” ungkap Ketua Umum PB Perpani tersebut.
Perhatian terhadap masalah-masalah seperti ini sangat penting untuk dimiliki masyarakat Indonesia. Minimnya kesadaran atau kepedulian akan sangat berbahaya karena bisa menghambat pemulihan pasien.
Dengan berkaca pada situasi ini, Arsjad Rasjid berharap kita semua tidak abai pada kondisi kesehatan mental diri sendiri atau juga orang-orang terdekat.
BACA JUGA: Tentang Cara Mengatasi Stress Begini Tips dari Arsjad Rasjid
“Mari bersama saling peduli. Bagi adik-adik atau teman-teman yang merasa butuh dukungan psikologis jangan ragu untuk melakukan konseling profesional kesehatan jiwa,” pungkasnya.