Gerakan Revolusi Lokal Raymond Chin memiliki konsep menarik tentang pemberdayaan UMKM lokal. Hal ini ia ungkapkan saat berbagi pandangan tentang bagaimana cara memperkuat tulang punggung perekonomian Indonesia tersebut bersama Arsjad Rasjid, sosok pengusaha yang juga peduli dengan pertumbuhan UMKM dalam negeri.
Hadir sebagai narasumber di podcast YouTube Arsjad Rasjid bertema ‘TikTok Shop Tutup? Jangan Panik Dulu!,’ salah satu topik bahasan yang seru untuk diikuti adalah tentang polemik TikTok Shop. Raymond yang secara tegas berpihak pada UMKM dengan Gerakan Revolusi Lokal.
Revolusi Lokal akan ubah mindset UMKM Indonesia
Pernyataan Raymond Chin mengenai keteguhannya untuk Revolusi Lokal memancing penasaran Arsjad Rasjid. Benefit apa yang bisa didapatkan oleh para pelaku usaha mikro, kecil dan menengah dengan Revolusi Lokal tersebut.
“Kan, gencar kampanye Revolusi Lokal, dimana Raymond mengatakan dampak pelanggaran TikTok kepada UMKM. Tapi apa yang bisa kita lakukan supaya gaung ini berjalan? What would to tell everyone? Karena saudara-saudara kita UMKM juga mengerti. Tapi akhir-akhirnya juga mereka menanyakan, ‘Kita kan lagi jualan. What can you do for me?’ ” tanya Arsjad.
Menjawab pertanyaan Arsjad, pria yang juga CEO Sevenpreneur tersebut mencoba memandang lewat negara lain. Tiongkok, misalnya, Raymond mengatakan bahwa 20 tahun lalu, produk-produk ‘Made in China’ itu diremehkan dunia, termasuk Indonesia.
“Sekarang, mana satu produk, Made in China yang kita bilang jelek? Mindset itu harus pelan-pelan kita masukkan ke produk lokal kita,” terang Raymond.
UMKM Indonesia harus tingkatkan kualitas agar dipercayai dunia
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa mungkin lima tahun lalu, sepuluh tahun lalu kita pernah kecewa dengan produk lokal. Bisa jadi karena harganya mahal, atau faktor kualitas dan lain sebagainya. Namun Raymond yakin bahwa Indonesia bisa seperti Tiongkok. Menjadikan produk-produk mereka dikenal dan diakui dunia dengan ketekunan para pengusaha.
“Tapi sekarang itu sudah mulai banyak yang bisa compete, lho. Tapi itu harus dibuka suaranya, dan pas kita lihat bagaimana lokal ber-compete, itu nggak minta dikasihani,” ujar Raymond.
Raymond mengatakan bahwa pemberdayaan UMKM adalah bagaimana cara untuk beradaptasi dan percaya. Arsjad mengamini pernyataan tersebut dengan menambahkan bahwa Pemerintah perlu hadir untuk menjaga pasar.
“Negara mana pun di dunia ini menjaga pasarnya. Jadi, kan, menjaga pasar karena kita ingin supaya jangan sampai produk-produk yang lain masuk sebagaimana rupa, menghancurkan ekonomi, khususnya yang (pengusaha) mikro, yang kecil,” imbuh Arsjad.
Ketua Umum PB Perpani tersebut menambahkan satu cerita yang mengajak Raymond ke masa mudanya. Dahulu, hampir semua produk yang ada di Indonesia itu buatan Jepang. Contohnya, kendaraan yang dulunya seperti dimonopoli oleh Negeri Matahari Terbit tersebut karena yang tersedia di pasar buatan negara tersebut. Tidak ada satu pun rakitan dari Tiongkok atau Korea seperti masa sekarang.
“Jepaaang aja. Habis itu, Korea masuk. Mulai, nih, Jepang agak panik. Sekarang, kita ngomong langsung saja, banyak produk-produk, mobil, niih. Terus sekarang, China,” tutur Arsjad.
Arsjad menambahkan bahwa pertama kali produk kendaraan asal Korea masuk ke pasaran Indonesia, kualitasnya memang sangat jauh di bawah Jepang. Secara blak-blakan ia mengatakan bahwa perusahaan otomotif Korea mencontek produk Jepang dan mengganti namanya untuk bisa diproduksi dan dipasarkan di Korea.
“Jadi mobil satu di Jepang diambil, diganti. Habis itu belajar dari situ sampai akhirnya bisa memproduksi mobil sendiri, desain sendiri, dan sukses seperti hari ini kayak mobil listrik,” jelas Arsjad.
Begitu juga dengan Tiongkok, memulai untuk membuat kendaraan listrik lewat metode yang sama. Selain belajar, mereka juga praktek pembuatan. Produk awal bisa dikatakan sama dengan produksi pertama Korea dengan kualitas yang meragukan. Namun kian hari, seperti yang kita lihat di jalanan Indonesia, mobil-mobil buatan Tiongkok juga mulai tak kalah mentereng dari buatan Jepang atau Korea.
“Begini maksud saya. Kita juga harus belajar. Bahwa kalau kita ingin menjadi negara maju, Jepang, belinya mobil Jepang. Korea, akan beli mobil Korea. Waduh sampai makanan musti Korea, semuanya Korea,” tegas Arsjad.
Mencintai produk sendiri, harga mati untuk Indonesia maju
Inilah pandangan dari Raymond Chin dan Arsjad Rasjid mengenai negara luar. Sebuah gambaran yang menunjukkan bahwa bila ingin pemberdayaan UMKM sukses, bahkan sampai naik kelas dan menjadi produsen besar, tugas masyarakat adalah dengan mendukungnya sekuat mungkin.
“Mengerti bahwa negara lain begitu, lho. Kita jangan bodoh.Kita harus melakukan hal yang sama seperti mereka kalau kita ingin menjadi negara maju, negara hebat,” kata Arsjad.
Raymond menambahkan pandangan tersebut dengan mengulik makin naiknya tensi geopolitik antar Amerika Serikat dan Tiongkok. Hal ini tak lepas dari begitu banyaknya investasi yang tak hanya dana, tapi juga transfer teknologi sehingga membuat Tiongkok memahami banyak hal di dunia bisnis, termasuk produksi barangnya.
“China yang mereka lakukan adalah, mereka bekerja sama, open semuanya. Tapi China berhasil, belajar, inovasi, sampai inovasinya mengalahkan teknologi Amerika itu sendiri. Ada that sense of nationalism-nya. Di saat ada yang masuk, kita harus jadikan diri kita sendiri lebih kuat. Jadi, Indonesia juga harus menganut itu,” ungkap Raymond.
BACA JUGA: Raymond Chin: Bagaimana Seorang Lulusan Teknik Komputer Menjadi Influencer Keuangan
Arsjad, yang tergelitik dengan nasionalisme ala Raymond Chin, ikut menambahkan bahwa sudah saatnya bagi Indonesia untuk meningkatkan jiwa kebangsaannya. Bukan dengan mengangkat senjata, namun mendukung pemberdayaan UMKM.
Seperti negara-negara maju sebelum mereka ‘MAJU,’ kita juga bisa memulainya dengan mencintai produk buatan negeri sendiri. Sesederhana itu.