Di dunia archery, kesetaraan gender pemanah wanita sudah sejak lama dijunjung tinggi. Jauh sebelum ada gaungnya, kaum Hawa dengan bebas dan gembira memainkan olahraga yang menuntut kekuatan dan fokus tinggi ini.
Bahkan di Indonesia, cerita tentang kesetaraan gender untuk pemanah wanita lebih hebat lagi karena menorehkan tinta emas sejarah olahraga bangsa ini. Adalah tiga Srikandi, yaitu Nurfitriyana, Kusuma Wardhani, dan Lilies Handayani, menjadi olahragawan pertama yang mampu membuat lagu Indonesia Raya berkumandang di ajang Olimpiade lewat raihan medali perak.
Keberhasilan ini juga menjadi patokan kesuksesan PB Perpani, induk cabang olahraga panahan Tanah Air. Sukses hantarkan atlet ke Olimpiade Paris 2024, atas nama Arif Dwi Pangestu dan Diananda Choirunisa, Ketua Umum PB Perpani Arsjad Rasjid berharap keduanya mampu melebihi rekor para Srikandi di Seoul 1988 dengan merebut medali emas.
“Kalau saat itu hanya perak, di Paris semoga bisa emas,” harap Arsjad, kala menghadiri pelantikan pengurus PB Perpani periode 2022-2026, Februari lalu.
Panahan sudah dimainkan kaum wanita sejak dahulu kala
Bukan sekadar medali emas, pemanah wanita Diananda Choirunisa juga menjadi bukti bahwa panahan adalah olahraga bagi semua kaum. Bukan hanya pria, wanita pun juga memiliki kesempatan untuk membuktikan yang terbaik dari dirinya.
Sejarah mengenai kesetaraan gender di olahraga ini sudah dimulai sejak berabad-abad yang lalu. Bahkan federasi internasional yang memayungi panahan dunia ini juga pernah memiliki presiden wanita. Ia adalah Inger Frith, wanita Denmark yang sangat berjasa mengembalikan olahraga panahan kembali dipertandingkan di Olimpiade 1972 setelah sebelumnya absen selama 52 tahun.
Terlepas dari kesetaraan gender tersebut, sebenarnya olahraga panahan telah disukai sejak lama, terutama oleh kaum bangsawan Eropa sejak akhir abad pertengahan. Misalnya, Anne Boleyn, istri kedua Raja Inggris Henry VIII yang dikatakan memanfaatkan panahan ini untuk merayu suaminya. Begitu juga sang putri, Ratu Elizabeth I, serta Putri Victoria saat masih muda, yang disebut-sebut juga menyukai panahan.
Selain didukung oleh kerajaan, banyaknya pemanah wanita sejak masa lampau karena adanya sentuhan yang lembut dan halus pada olahraga ini. Alasan paling kuat lainnya adalah karena kaum perempuan diperbolehkan mengenakan busana terbaik pilihan mereka saat berolahraga. Sambil berolahraga, mereka juga bisa unjuk kemampuan memanah dengan gaya. Tak heran bila banyak bangsawan pria terpikat dan ‘menemukan jodohnya’ gara-gara panahan.
Awal lahirnya turnamen bagi pemanah wanita
Di akhir abad ke-19, panahan berada pada puncak popularitasnya. Masyarakat Inggris Raya menganggapnya sebagai olahraga elit dan megah. Muncul berbagai turnamen untuk kalangan kelas atas yang dibanjiri oleh penonton dan menjanjikan hadiah luar biasa.
Kemudian di tahun 1860, Grand National Archery Society menjadi badan resmi panahan di Inggris. Organisasi ini lalu menetapkan babak kompetisi pertama khusus untuk pemanah wanita dengan memainkan 48 anak panah pada jarak 60 yard serta 24 anak panah pada jarak 50 yard.
Kesempatan ini juga dimanfaatkan bagi industri-industri pembuat busur dan anak panah. Mereka berlomba memasarkan apparel-apparel khusus bagi pemanah wanita. Mulai dari busur besar namun berbobot ringan hingga pelindung lengan dari kulit dengan lapisan halus dan bantalan sutra.
Di luar kompetisi, olahraga ini juga menjadi sarana pertemuan dan sosialisasi kaum pria dan wanita. Hal ini digambarkan dalam sebuah novel berjudul Barchester Towers karya Anthony Trollope, yang ditulis pada tahun 1857 dan menuliskan tentang pesta dan romansa di rumah pedesaan dengan latar belakang turnamen panahan.
Legenda-legenda pemanah wanita dunia
Ketika berbicara tentang profesionalitas, Alice Legh adalah legendanya. Ia membuktikan diri sebagai pemanah wanita paling sukses di zamannya dengan memenangkan kejuaraan nasional Inggris sebanyak 22 kali yang terjadi antara tahun 1881 dan 1922.
Tak hanya jago di arena, Legh merupakan pemanah wanita pertama yang mampu menjelaskan teknik dan filosofinya secara rinci. Ia membeberkan ‘resep’ kesuksesannya, yaitu dengan “menjadi sangat pendiam dan berhati-hati dalam semua gerakanmu; jangan pernah terburu-buru, jangan pernah berhenti dengan tiba-tiba, jangan berbicara atau menggerakkan kakimu.”
Pada gelaran Olimpiade pertama di tahun 1890-an, tak semua olahraga bisa diterima dengan baik. Tetapi panahan menjadi salah satu yang bisa diterima oleh masyarakat. Banyak teori yang bertebaran dan satu di antaranya menyebutkan bahwa privilege itu didapatkan karena perempuan diperbolehkan berkompetisi sambil mengenakan gaun.
Seiring dengan kesuksesan Matilda Howell, pemanah wanita AS pertama yang meraih medali emas di Olimpiade 1904 di St. Louis, pamor panahan pun juga menguat di negeri Paman Sam. Dari perguruan tinggi hingga akhirnya berdiri klub pemanah wanita Crescent City di New Orleans pada tahun 1870-an, yang menjadi salah satu organisasi olahraga pertama bagi kaum wanita di negara tersebut.
Pemanah wanita hebat lain yang tercatat dalam sejarah adalah Lottie Dod. Tak hanya berbakat dalam memanah, ia pun juga pernah menjadi juara tenis Wimbledon termuda pada tahun 1887 lewat gelar tunggal putri yang ia raih di usia 15 tahun. Ini juga menjadi rekor juara termuda yang masih bertahan hingga sekarang. Luar biasa!
Itulah sedikit dari sekian banyak kisah tentang pemanah wanita yang menghiasi sejarah dari dunia busur dan anak panah. Kini kita punya Diananda Choirunisa. Atlet asal Surabaya, Jawa Timur ini akan menjadi harapan bangsa untuk meraih medali emas di Olimpiade Paris 2024.
Hal ini sejalan dengan misi PB Perpani yang berupaya mengembalikan kejayaan olahraga panahan Indonesia di tingkat internasional. Arsjad Rasjid berharap para atlet mampu memberikan yang terbaik saat turun di berbagai event.
BACA JUGA: Kusuma Wardhani: Mengenang Sosok Legendaris di Dunia Panahan Indonesia
“Tidak hanya di level SEA Games di negara ASEAN saja tapi juga sampai ke level Asia dan Olimpiade. Kita harus bisa mendapatkan medali emas di Olympics games tahun depan,” tutur Arsjad.