Dalam merayakan Hari Sumpah Pemuda ke-95, Arsjad Rasjid hadir dalam event untuk meningkatkan kesadaran anak muda terhadap pentingnya industri hijau. Hal tersebut ia sampaikan melalui sambutan ketika menghadiri Young Movement Conference 2023-Future Heroes.
Sambil berbagi insight mengenai prospek green business di Indonesia, Ketua Umum PB Perpani tersebut merasa perlu untuk mengajak anak-anak muda untuk mengenal industri hijau, mengingat Indonesia memiliki harapan untuk mencapai net zero emission tahun 2060.
Sudah saatnya bagi kita semua untuk berkolaborasi bersama, terutama para penerus bangsa, untuk berani memimpin dan mendukung visi tersebut melalui entrepreneurship pada industri hijau. Berusaha sambil menciptakan dampak pada lingkungan dan sosial.
Industri hijau solusi hadapi tantangan perubahan iklim
Arsjad menyadari bahwa industri hijau kian menjadi tren dalam beberapa tahun terakhir. Topik tentang net zero emission dan green economy kini semakin sering menjadi bahan perbincangan masyarakat. Hal ini tidak lepas dari urgensi transisi energi yang semakin penting dengan adanya krisis iklim.
Berbicara di hadapan undangan yang menghadiri Young Movement Conference 2023-Future Heroes, Arsjad mengingatkan bahwa Indonesia adalah penghasil emisi Gas Rumah Kaca terbesar ke-8 di dunia. Situasi sekarang, emisi telah meningkat 5% selama 15 tahun terakhir dan bila tidak ada usaha untuk mengurangi, diperkirakan akan terus meningkat pada tahun 2060
“Saat ini saja, mungkin kita sedang menghirup udara Jakarta yang penuh polusi. Bahkan di Bulan Agustus lalu kualitas udara di Jakarta menempati peringkat yang terburuk di dunia dengan kualitas udara mencapai 170 AQI, atau di atas Johannesburg (Afrika Selatan) dan Dubai (UAE),” tegas Arsjad.
Selain polusi, pria kelahiran Jakarta, 53 tahun lalu ini juga mengingatkan ancaman pemanasan global. Ia berbicara tentang 2,000 pulau kecil di Indonesia diperkirakan akan tenggelam pada tahun 2050.
“Saya kira masih banyak sekali ancaman-ancaman lainnya yang berbahaya, bukan hanya untuk kita, tapi juga anak cucu kita nantinya jika krisis iklim tidak diselesaikan,” imbuhnya.
Industri hijau dan berkelanjutan sebagai solusi masa depan
Mengingat semakin kritisnya kondisi alam, ia menawarkan pandangan mengenai pengembangan industri hijau dan berkelanjutan. Sebuah peluang bisnis yang juga bisa menjadi salah satu kunci menuju ketahanan energi, melestarikan lingkungan, sekaligus menciptakan kesempatan kerja yang lebih berkelanjutan.
Arsjad membahas tentang tren global dalam 3 tahun terakhir. Dimulai dengan investasi startup hijau yang secara global meningkat lebih dari 67% sejak 2018. Di Asia, aktivitas investasi dalam energi hijau telah meningkat dua kali lipat selama dekade terakhir pada 2 sektor champion, yaitu Renewable Energy (Energi Baru dan Terbarukan) dan EV (Electrical Vehicle). Bahkan market size industri hijau di Asia diperkirakan mencapai 5 triliun US dollar pada tahun 2030.
Saat ini juga sudah ada sekitar lebih dari 40 startup di bidang ekonomi hijau di Indonesia di sektor energi terbarukan, pengelolaan makanan/sampah/limbah, kredit karbon, dan kendaraan listrik.
“Ini progress yang luar biasa bagus. Artinya, investor dan stakeholder industri melihat peluang industri hijau di masa depan menjanjikan,” ujar Arsjad.
Mengenai prospek industri hijau di tahun 2024, Arsjad melihat bahwa bidang usaha ini mampu untuk menjadi The Next Unicorn dan Next Decacorn. Melihat dari segi pembiayaan, tidak dipungkiri teknologi EBT memang tidak murah dan membutuhkan investasi yang signifikan. Bahkan Indonesia butuh sekitar 6.700 triliun untuk membiayai ekonomi hijau hingga tahun 2030.
Tahun demokrasi tidak akan surutkan industri hijau
Meski tahun depan adalah pesta demokrasi Indonesia, Arsjad yakin hal ini tidak akan menjadi penghalang. Ia menjelaskan bahwa saat ini mayoritas perbankan sudah berkomitmen dan shifting menuju pembiayaan hijau, tidak lagi membiayai proyek dengan risiko kerusakan lingkungan dan beralih ke industri hijau atau green financing. Selain itu, kredit sektor hijau ini diprediksi untuk terus bertumbuh di tahun 2024, didukung oleh appetite bank yang masih longgar dan mulai meningkatnya permintaan akan pembiayaan hijau, yang sejalan dengan kinerja korporasi yang masih tumbuh baik.
Arsjad juga berbicara mengenai skema pembiayaan lainnya, seperti blended finance dan penerbitan green bond juga diprediksi akan meningkat di tahun depan. Ini menunjukkan bahwa sekarang sudah ada berbagai obligasi hijau bernilai triliunan tercatat di bursa.
Dari segi pasar, Arsjad menggarisbawahi tren kebiasaan konsumer global, di mana lebih dari 70% konsumen rela membayar tambahan 5% biaya untuk membeli produk ramah lingkungan jika memiliki kualitas yang sama dengan alternatif non-hijau.
“Contoh sederhananya, kita lihat saat ini juga sudah banyak mobil dan motor listrik yang ada di jalan. Bahkan beberapa ojek online juga sudah pakai motor listrik untuk mengakomodasi preferensi konsumen dan mendorong transisi energi,” ungkapnya.
Melihat preferensi konsumen yang besar terhadap produk hijau, tentu terbuka peluang yang lebih besar dan akan semakin bertumbuh jelang tahun 2024.
Soal faktor lainnya, yaitu ekosistem listrik, Arsjad menjelaskan bahwa di tahun 2024 pemerintah menargetkan sekitar 1.500 unit pengisi daya listrik untuk kendaraan. Dengan pembangunan infrastruktur pendukung, ia yakin bahwa akan semakin banyak masyarakat yang beralih ke kendaraan listrik.
Soal regulasi, Arsjad menekankan tentang pembangunan rendah karbon yang telah dicanangkan dalam RPJMN 2020-2024, Pemerintah juga telah membuat peta jalan untuk mencapai net zero emission pada 2060.
“Meskipun tentunya menjelang tahun pesta demokrasi, pastinya arah regulasi dan kebijakan berubah. Namun jujur saya senang sekali dari 3 pasangan capres cawapres yang ada, ekonomi hijau sama-sama menjadi misinya,” ungkap Arsjad.
Faktor-faktor pendukung untuk kembangkan industri hijau Indonesia
Dalam mendukung pengembangan industri hijau, Arsjad perlu mengingatkan akan pentingnya beberapa pembangunan di Indonesia.
Pertama adalah dengan meningkatkan kualitas SDM. Pasalnya, industri hijau berpotensi menciptakan 65 juta pekerjaan di 2030.
“Contoh konkrit dari pengembangan Industri Hijau di Pennsylvania, mampu menaikkan pendapatan hingga USD 460 juta dan menciptakan 44.000 lapangan kerja baru dari EBT,” ceritanya.
Hanya saja, Indonesia masih memiliki sedikit SDM dengan skill di bidang science dan engineering, seperti manufaktur peralatan dan sistem hemat energi, hydropower.
“Oleh karena itu, diperlukan berbagai training dan kurikulum pendidikan yang bisa menjawab tantangan ini,” lanjutnya.
Selain sumber daya manusia, Arsjad juga menjelaskan tentang pentingnya memiliki insentif yang kompetitif. Misalnya, insentif pajak yang diperlukan untuk meningkatkan pendukung industri hijau. Berikutnya, kolaborasi antara sektor publik dan privat yang masif demi mendorong pengembangan industri hijau.
“Bayangkan jika lebih banyak investment & business matching untuk green business, tidak hanya B2B tetapi juga B2G,” tutur Arsjad.
Sebagai penutup, Arsjad kembali mengingatkan bahwa dalam menghadapi tantangan krisis, generasi muda memiliki peluang serta menjadi bagian dari solusi. Sudah saatnya bagi kita untuk lebih aktif dalam membangun bangsa.
BACA JUGA: Reskilling Karyawan Penting Bagi Perusahaan yang Bertransisi ke Ekonomi Hijau
“Tentunya anak muda jangan hanya jadi objek kebijakan, tetapi jadikan ini sebagai peluang bisnis, sekaligus berkontribusi dalam memastikan tercapainya masa depan Indonesia yang unggul dan berkelanjutan,” tutup Arsjad.