Jemparingan merupakan tradisi lokal Indonesia yang memadukan salah satu budaya paling kuno dunia, yaitu panahan. Masih sama dengan busur dan panah, tetapi dengan gerakan dan kelengkapan lainnya yang berbeda.

Berasal dari provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, jemparingan memang memiliki daya tarik tersendiri. Mulai dari busana yang dikenakan oleh para ‘atletnya’ hingga posisi memanah yang tak biasa, yaitu duduk bersila atau bersimpuh bagi wanita di atas alas.

Kekayaan budaya khas Indonesia ini pula yang menjadi alasan mengapa Arsjad Rasjid mau menjadi Ketua Umum bagi induk organisasi panahan Indonesia, PB Perpani. Tak hanya karena aktivitas ini merupakan sunnah Rasulullah, tetapi juga keinginan untuk menjadikan cabang olahraga jemparingan sebagai event yang bisa digelar dan dikompetisikan di berbagai perlombaan panahan dalam negeri.

Dari kalangan Ningrat, jemparingan jadi olahraga masyarakat

Mengulik sejarahnya, jemparingan adalah aktivitas memanah yang sejak dulu merupakan kegiatan rutin yang dilakukan di Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan menghadirkan gaya memanah ala Mataram Ngayogyakarta. Seperti namanya, jemparingan dulu hanya dikhususkan bagi kalangan yang berada di lingkaran keluarga Kerajaan Mataram. Tak jarang juga menjadi ajang kompetisi bagi para prajurit kerajaan.

Ini juga mengingatkan kita akan asal-usul olahraga panahan dunia. Dimulai sebagai bagian dari standar hidup, yaitu berburu dan perang, dan sudah ada sejak puluhan ribu tahun lalu, kegiatan memanah kemudian menjadi budaya dan dilakukan oleh banyak orang. Berawal dari kaum bangsawan hingga akhirnya mengakar di masyarakat.

Begitu juga dengan jemparingan. Dengan kembali bergairahnya olahraga panahan dalam negeri, nama kegiatan tradisional ini juga semakin dikenal masyarakat Indonesia dan mulai banyak peminatnya.

Sisi-sisi unik jemparingan

Keunikan jemparingan ini juga mendapat perhatian dunia. Situs worldarchery.sport menuliskan bahwa di Yogyakarta ada olahraga memanah yang berbeda karena para atletnya menembakkan anak panah sambil duduk, membidik sasaran putih yang lebarnya hanya 3,5 cm dan berjarak 30 meter.

Di situ disebutkan pula bahwa jemparingan bukan sekadar olahraga atau sarana untuk bertahan hidup. Ada sisi tradisi yang dianggap sebagai sebuah bentuk pengembangan spiritual manusia.

Dalam kegiatannya, jemparingan memiliki beberapa gadget khusus yang harus dimiliki oleh para pemanahnya. Selain anak panah, Anda juga harus melengkapi diri dengan busur yang juga disebut sebagai gendewa, wong-wongan atau bandulan sebagai sasarannya, busana khas Yogyakarta, alas sebagai tempat duduk, dan beberapa hal lainnya.

Bandulan memiliki tiga bagian sasaran. Pada bagian atas atau kepala tingginya sekitar 5cm dan diberi warna merah. Bagian tengah atau badan diberi warna putih. Serta bagian leher yang berada di antara kepala dan badan yang tingginya sekitar 1 cm saja dan diberi warna kuning. Ketiganya memiliki poin sendiri-sendiri yang besarannya disepakati sebelum pertandingan dilakukan.

Di atas bandulan terdapat lonceng kecil yang akan berbunyi ketika anak panah mencapai sasaran. Bagian yang paling menarik adalah benda kecil di bawah bandulan, yang harus dihindari oleh para pemanah karena bagian tersebut justru mengurangi poin.

Apa saja perlengkapan jemparingan?

Dilansir dari budaya.jogjaprov.go.id, jemparingan juga memiliki keunikan lain di mana pemanah tidak membidik dengan mata. Mereka akan memposisikan busur di hadapan perut serta membidik dengan menggunakan perasaan sang pemanah. Seiring berjalannya waktu, jemparingan juga mengikuti perkembangan zaman. Sebagian pemanahnya tak lagi membidik dengan busur di perut dan sedikit memiringkan posisinya sehingga bisa membidik dengan mata.

Seperti gaya memanah yang tak biasa, ada hal lain yang membuat jemparingan begitu berbeda. Ini berkaitan tentang filosofi yang dimiliki oleh olahraga ini, yang disebut sebagai pamenthanging gandewa pamanthening cipta.

Bukan hanya sekadar membentangkan tangan, menarik, serta melepaskan anak panah, jemparingan memiliki arti yang lebih luas. Olahraga ini juga merupakan simbol dalam kehidupan sehari-hari, yaitu memaknai cita-cita manusia, yang memerlukan usaha dan fokus penuh dalam mencapainya.

BACA JUGA: Menyelami Dunia Kyudo, Seni Panahan Tradisional Jepang Penuh Nilai

Jemparingan lebih dari sebuah permainan. Di dalamnya juga ada filosofi, seni, serta manfaat yang melengkapi kebudayaan tersebut. Nilai-nilai inilah yang membuat olahraga ini wajib diketahui dan dilestarikan oleh masyarakat, khususnya generasi muda Indonesia.

Tertarik untuk menjadi pemanah jemparingan?

You may also like

More in News