Perusahaan mainan Lego sempat mengalami masa krisis hingga membuatnya hampir bangkrut di awal tahun 2000an, meskipun sudah berdiri lebih dari setengah abad.

Namun kondisi tersebut kemudian berbalik di tahun 2015, menjadikan Lego sebagai The Most Powerful Brand dan perusahaan mainan paling menguntungkan di tahun 2016.

Bagaimana sebuah industri mainan lego mampu membalik keadaan di tengah gempuran video game dan perkembangan teknologi digital? Arsjad Rasjid membahasnya dalam 5 langkah strategis Lego mengembalikan kejayaannya setelah hampir gulung tikar.

Sejarah mainan Lego dan tantangan perkembangan zaman

Perjalanan perusahaan Lego bermula dari tangan seorang tukang kayu asal Denmark bernama Ole Kirk Christiansen di tahun 1932. Penamaan “Lego” sendiri berasal dari kata “leg godt,” yang artinya “bermain dengan baik.”

Tahun 1958, Lego memperkenalkan mainan balok kayu modern yang mirip dengan yang kita kenal sekarang. Di samping itu pada 1949, mereka memproduksi Lego Bricks, yakni balok plastik yang dapat disusun.

Permainan Lego mencapai masa kejayaannya pada tahun 1970 hingga 1980 an. Namun memasuki tahun 1990an, video game dan permainan komputer lain mulai diperkenalkan ke masyarakat. Hal ini menjadi tantangan dan kompetisi tersendiri bagi Lego.

Diversifikasi produk yang kurang berjalan mulus

Menghadapi tantangan tersebut, perusahaan mainan Lego mulai memikirkan sejumlah inovasi dan strategi diversifikasi. Di antaranya melalui acara TV, produk pakaian, jam tangan hingga ekspansi Legoland yang terlalu cepat.

Meskipun diversifikasi bisa menjadi strategi dalam menghadapi perlambatan atau stagnasi perusahaan, tetapi hal ini tidak terlalu berlaku bagi Lego. Langkah ini ternyata meredupkan esensi produk utama mereka.

Hampir bangkrut dan utang menggunung

Di tahun 2003, Lego berada di ujung tanduk. Perusahaan mainan ini hampir kehabisan uang dan merugi 300M USD per tahunnya. Utang yang menggunung hingga 800M USD/tahun.

Hal ini terjadi karena diversifikasi yang berlebihan, persaingan ketat dengan perkembangan video game, serta investasi Legoland yang kurang menghasilkan. Situasi ini membuat perusahaan tersebut hampir gulung tikar.

Pergantian pemimpin dan pergantian strategi yang menyelamatkan perusahaan

Tahun 2004 adalah titik balik masa krisis perusahaan mainan Lego. Kjeld Kirk Kristiansen mundur dari jabatan sebagai President dan CEO. Jorgen Vig Knudstorp naik untuk menggantikan sebagai pimpinan baru dan menerapkan sejumlah strategi yang perlahan tapi berhasil menyelamatkan perusahaan Lego.

Strategi Knudstorp untuk menyelamatkan perusahaan

1. Efisiensi besar-besaran

Jorgen Vig Knudstorp melakukan beberapa kebijakan efisiensi, di antaranya menjual unit bisnis yang tidak integral dengan produk utama, seperti properti di luar negeri. Ia juga mau tidak mau merumahkan hingga 3.500 karyawan. Selain itu, Legoland akhirnya dijual ke Merlin Entertainments pada tahun 2005.

2. Fokus pada Core Business

Di bawah kepemimpinannya, fokus perusahaan dikembalikan ke core business Lego, yakni balok lego itu sendiri. Langkah ini memiliki peran penting dalam meraih kembali kepercayaan konsumen. Bahwa Lego tak sekedar menjual mainan, tapi juga kualitas dan timeless experience.

3. Strategic partnership

Lego rajin berkolaborasi dengan franchise film dan jenama-jenama besar lainnya. Misalnya kolaborasi Lego Star Wars dengan Lucas Film, yang tahun ini memasuki tahun ke 25.

4. Mendengarkan Customer

Strategi lain yang diterapkan Knudstorp adalah mengembalikan hubungan baik lego dengan pelanggan. Lego mulai menerima kritik dan saran dengan serius agar dapat mengembangkan produknya.

Tahun 2008, Lego bekerjasama dengan crowdsourcing platform asal Jepang, CUUSOO. Melalui platform tersebut, publik bisa mengirimkan ide produk baru dan ide yang terpilih akan dibuat menjadi produk resmi. Kesuksesan kolaborasi ini kemudian melahirkan Lego Ideas pada tahun 2014.

5. Keterlibatan Karyawan

Strategi ini adalah hal pertama yang dilakukan Knudstorp saat naik ke pucuk pimpinan. Upaya untuk mendapatkan kepercayaan karyawan ini ia lakukan untuk dapat memimpin seluruh perubahan yang ia lakukan.

Knudstorp juga mendorong budaya kerja baru untuk mengedepankan inovasi, kreativitas dan membangun sense of ownership di semua lini.

Perjalanan perusahaan Lego dalam mempertahankan bisnis mereka dari masa ke masa, patut menjadi teladan bagi industri lainnya. Sebuah pelajaran berharga tentang pentingnya fokus pada nilai inti perusahaan, kepemimpinan yang visioner serta membangun budaya inovasi dengan cara yang cerdas.

BACA JUGA: Kisah Sukses BYD, Perusahaan China yang Jadi Pionir Inovasi dalam 10 Tahun Terakhir

Kini perusahaan mainan Lego tidak hanya menjadi perusahaan yang berhasil mendulang profit, tetapi juga menunjukkan kekuatan jati dirinya sebagai brand mainan yang ikonik di kalangan masyarakat.

You may also like

More in Inspirasi