Muncul di benua Afrika sekitar 70.000 tahun lalu, panahan berkembang menjadi budaya di berbagai belahan dunia. Salah satu yang kemudian melekat dan menjadi budaya adalah Kyudo, seni panahan Jepang dengan nilai budaya yang sangat tinggi.
Bisa dibilang, Kyudo mirip dengan Jemparingan, seni memanah tradisional dari Yogyakarta. Ketika mendalaminya, kita tidak hanya diajarkan untuk mencapai sasaran dengan anak panah, tetapi juga memahami berbagai filosofi di dalamnya. Sebuah keindahan yang menjadi alasan Arsjad Rasjid berani menerima tantangan sebagai Ketua Umum PB Perpani, sekaligus ingin menjadikannya sebagai salah satu agenda kompetisi memanah nasional.
Seperti Jemparingan, Kyudo adalah seni memanah yang indah. Tak hanya busananya, panahan Jepang ini juga memiliki ciri khas yang unik bila dibandingkan dengan tradisi memanah lainnya. Termasuk busur dan tata cara dalam memanah yang elegan, seperti menjalankan ritual dengan anggun. Sederhana namun sangat mengesankan. Begitu juga ketika mengambil anak panah, menariknya di busur, serta saat menembakkan ke sasaran, semua diatur secara tradisional, dan bahkan memiliki istilah sendiri-sendiri dalam bahasa Jepang.
Kyudo, seni memanah yang sarat dengan tradisi
Bicara tentang sejarah, Kyudo bisa diartikan sebagai ‘jalan busur.’ Seperti panahan pada umumnya, olahraga ini merupakan turunan dari tradisi militer. Masyarakat Jepang menyebutnya Kyujitsu, yang artinya berkaitan dengan keterampilan menggunakan busur.
Meski terlihat tradisional, Kyudo diperkirakan masih berusia 100 tahun. Lebih muda dibandingkan seni bela diri dan berperang khas Jepang lainnya, seperti karate, judo, atau seni pedang. Kyudo juga memiliki kelas yang disebut dengan Dan atau Kyu. Dan memiliki 10 tingkatan dari Judan (Dan 10) hingga Shodan ( Dan 1), sementara Kyu memiliki lima level dari Gokyu ( Kyu 5) naik sampai Ikkyu (Kyu 1).
Seperti bela diri lainnya, Kyudo juga memiliki esensi yang lebih dari sekadar tembakan dan akurasi, yaitu Seisha Seichu, atau ‘tembakan yang benar adalah pukulan yang benar.’ Menurut Nippon Kyudo Federation, tujuan tertinggi panahan Jepang ini adalah mencapai keadaan shin-zen-bi, yang kira-kira artinya adalah ‘kebenaran-kebaikan-keindahan.’
Pada intinya, pemanah akan menembak dengan ‘kebenaran,’ semangat dan sikap yang baik, sehingga tembakan yang indah akan mengikuti dengan sendirinya. Tak hanya cukup menembak secara akurat karena setiap melesatkan anak panah harus dilakukan dengan ketulusan dan komitmen yang paling tinggi, untuk mewujudkan kekuatan yang tersembunyi.
Kebaikan lain dari Kyudo adalah tanggung jawab. Ketika tampil di depan penonton, Kyudo menjadi disiplin kolektif yang membuat seorang atlet panahan Jepang harus bisa memberikan kemampuan panahan yang terbaik. Pun begitu dengan yang melihat, akan belajar dari apa yang mereka saksikan sehingga masing-masing pemanah bisa memberikan penilaian.
Untuk itu, panahan Jepang ini memiliki aturan untuk giliran dalam menembak. Dalam setiap permainan, Kyudo memberi tiga kali kesempatan memanah.Yang mendapatkan kesempatan pertama adalah pemanah paling berpengalaman kedua, diikuti dengan yang paling jago, lalu diakhiri oleh penembak dengan pengalaman di bawah keduanya.
Ada alasan mengapa Kyudo memiliki urutan menembak seperti ini, yaitu membangkitkan rasa percaya diri dalam tim. Ini mirip dengan urutan menembak tim dalam kompetisi panahan dunia. Masing-masing berperan untuk mengangkat moral tim untuk menghasilkan kerja sama yang kuat dan hasil terbaik.
Peralatan untuk panahan Jepang
Seperti disebutkan di atas bahwa Kyudo adalah sebuah tradisi. Jadi tidak heran bila panahan Jepang ini juga memiliki aturan dalam peralatan yang digunakan untuk memanah.
Yang paling utama adalah busur yumi asimetris. Begitu panjang hingga biasanya lebih tinggi dari pemanah dan biasanya busur yang terbaik dibuat dari kayu pohon bambu. Anak panahnya juga terbuat dari bilah bambu meski di dunia Kyudo modern, makin banyak klub yang menggunakan panah karbon dengan bulu burung. Setiap atlet panahan Jepang juga wajib menggunakan sarung tangan yang disebut sebagai yugake.
Meski tidak setenar karate atau judo, Kyudo secara perlahan mulai digemari oleh masyarakat di luar Jepang. Perkembangannya dimulai selepas Perang Dunia II di mana klub-klub mendapatkan pengajaran atau bimbingan langsung dari ahlinya.
Untuk kompetisinya, panahan Jepang ini memiliki dua cabang yang berbeda. Turnamen, yang menekankan pada skor, serta ujian nilai yang lebih bertumpu pada ketepatan teknik dan bentuk. Biasanya penilaian dilakukan sekali atau dua kali dalam setahun.
Berlatih Kyudo adalah berlatih Zen
Kyudo adalah seni sehingga keahlian adalah segalanya. Bukan sekadar anak panah yang tepat sasaran. Penilaian mengacu pada segala aspek dan mungkin akan terasa sulit bagi mereka yang baru merasakan dunia panahan Jepang ini.
Kerumitan Kyudo juga pernah ditulis oleh akademisi asal Jerman, Eugene Herrigal yang belajar Kyudo di Jepang bersama seorang masternya. Suka dukanya lalu ia tuangkan ke dalam buku yang berjudul Zen In The Art Of Archery dan diterbitkan pada tahun 1948 dan merupakan buku dengan judul panahan terlaris sepanjang masa.
Bagaimana tidak rumit? Panahan Jepang memiliki sifat yang bersifat sinkretis, mengikuti berbagai tradisi filosofis dan keagamaan khas Jepang, yaitu Shinto, tradisi panahan sipil Tiongkok, Konfusianisme, kosmologi Taoisme, perkembangan spiritual agama Buddha dan latihan mental untuk mencapai hasil konkrit sesuai target dari Zen.
Hanya saja, sejak buku karangan Herrigal terbit, pandangan terhadap Kyudo lebih dipersempit supaya tidak terlalu panjang dan rumit, yang akhirnya bermuara pada latihan Zen.
BACA JUGA: Mengenal Legenda Robin Hood yang Lekat dengan Olahraga Panahan
Jadi, jangan heran ketika Anda berlatih Kyudo, bukan hanya merasakan peningkatan pada kemampuan memanah, tetapi juga mendapatkan pencerahan sepanjang pelatihan. Mungkin terasa rumit, namun sekali terpikat Kyudo, petualangan tersebut akan terus melekat di hati untuk selamanya.