Pembangunan berkelanjutan di Indonesia membutuhkan lebih banyak pengguna bahasa asing. Bukan hanya karena semakin terbukanya komunikasi dengan dunia luar, juga karena ada kepentingan yang lebih besar, yang akan membantu meningkatkan perekonomian kita.
Pernyataan itu disampaikan oleh dua sosok pengusaha dan ekonom kondang Tanah Air, Arsjad Rasjid dan Gita Wirjawan. Bertemu dalam podcast YouTube Gita Wirjawan yang bertema ‘Bernegara dan Berbisnis di Tengah Machiavellianisme’ keduanya membahas tentang semakin pentingnya penguasaan bahasa asing untuk generasi muda Indonesia.
Kaitan bahasa asing dan perekonomian bangsa
Gita mengaku bahwa akhir-akhir ini memiliki pemikiran bahwa ketika 100 juta masyarakat Indonesia bisa memiliki kemampuan bahasa asing, hal tersebut akan menjadi sebuah bantuan yang sangat besar dalam meningkatkan perekonomian bangsa.
“Apalagi duitnya ada di luar. Semakin anak-anak muda di Indonesia bisa berkomunikasi bahasa asing, semakin mereka bisa nyari duit di luar kalau di dalam negeri gak dapat,” kata Gita membuka diskusi tentang pengaruh bahasa asing untuk peningkatan ekonomi.
Menanggapi hal tersebut, Arsjad menjelaskan bahwa untuk mendukung bonus demografi, sudah saatnya kita berpikir untuk bangsa dengan tidak membawa uang dalam negeri ke luar negeri. Untuk itu, Arsjad mengemukakan Markija, singkatan dari Mari Kita Bekerja dan sebuah sociopreneurship di bidang edukasi, di mana mahasiswa atau mahasiswi yang terpilih mengikuti program magang Markija selama 2 tahun dengan mendapatkan tunjangan dan fasilitas standar Eropa, tanpa dipungut biaya.
Menariknya, dalam pemilihan negara untuk peserta program Markija, Arsjad justru memilih Hungaria. Negara yang dikenal sangat anti imigran. Kok bisa?
“Itu adalah bagaimana, sekolah nih, baru Politeknik setahun. Dia dua tahun program. Dua tahun kalau bisa praktis (kemudian) dikirim ke luar (negeri). It’s happening, Chief. Kita kirim ke negara Eropa. Negara yang paling.. Kita bilang, kita mencoba, nih. Negara yang paling susah, yaitu negara yang anti immigrants, negara di EU,” ungkap Arsjad.
“Belanda?” tebak Gita?
Balasan Gita tersebut ternyata salah. Lebih Lanjut Arsjad menjelaskan bahwa negara yang dimaksud adalah Hungaria. Sebuah negara yang sangat anti imigran. Maksud dari Arsjad bahwa kalau upayanya bisa menembus birokrasi Hungaria dan memberi pintu masuk kepada generasi muda Indonesia, ia yakin bisa melakukan hal yang sama ke negara-negara Eropa lainnya.
‘Agenda’ penting di balik program magang luar negeri
Arsjad menjelaskan bahwa para peserta Markija mendapatkan beasiswa penuh. Tak hanya untuk kebutuhan hidup, juga mendapatkan gaji sebagai pendapatan mereka.
“Dia datang ke sana, pulang dapat sertifikat. EU standards. Dari sana, vokasi. Ya, kan?” imbuh Ketua Umum PB Perpani tersebut.
Dua tahun ‘magang’ bersertifikat di Eropa dan mendapatkan kemampuan berstandar tinggi diharapkan akan meningkatkan nilai dari peserta program Markija ini.
“Maksud saya tadi, bahwa the way we have to think about it, ke sana (bonus demografi),” tutur Arsjad.
Para peserta program Markija akan menjadi aset bangsa sebagai modal untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045. Dikirim sebagai penerima beasiswa, dua tahun kemudian kembali datang sebagai pekerja yang memiliki kemampuan setara dengan standar Eropa. Diharapkan, mereka nantinya bisa menularkan kemampuan tersebut kepada pekerja-pekerja Indonesia sehingga standar pekerja kita semakin meningkat.
“Akhirnya apa yang diperlukan? Language (bahasa asing). As simple as English,” ujar Arsjad.
Teknologi modern bantu akselerasi penguasaan bahasa asing di Indonesia
Bicara tentang kemampuan bahasa asing, Gita menggarisbawahi fakta di Indonesia. Di populasi kita, tidak lebih dari 10%-nya yang bisa berbahasa Inggris. Namun dengan semakin berkembangnya teknologi, terutama Kecerdasan Buatan (AI), Gita yakin bahwa peningkatan kemampuan bahasa asing di dalam negeri bisa diperluas dengan lebih cepat.
“Kalau lima tahun yang lalu gue ditanya, gue agak-agak pesimis. Tapi sekarang dengan AI, ini bisa diakselerasi prosesnya,” jelas Gita.
Ia mengambil contoh dengan melihat negara tetangga, Filipina. Negara yang juga mirip Indonesia, dengan banyak pekerja yang berkarya di luar negeri, serta memiliki arus uang masuk yang sangat besar ke negaranya.
“Dia (Filipina) itu remittance-nya 40 miliar, terus call center-nya 40 miliar dolar. Ini total 80 miliar dolar. Kalau kita remittances-nya 15 miliar dolar. Jumlah foreign workers-nya lebih banyak daripada jumlah foreign workers-nya Filipina. Berarti foreign workers dari Filipina yang kerja di luar itu lebih di atas di value chain-nya,” terang Gita.
Pada akhirnya, fakta ini bermuara pada kualitas human capital, pendidikan, serta kemampuan bahasa asing masyarakat Indonesia. Untuk itu, Arsjad menekankan pentingnya penguasaan bahasa asing. Tidak hanya bahasa Inggris saja, tetapi juga bahasa-bahasa dari negara dengan pertumbuhan ekonomi tinggi sebagai bekal kemampuan generasi muda, khususnya bagi mereka yang ingin mengembangkan kemampuan kerja di luar negeri.
Sebagai penutup perbincangan tentang pentingnya bahasa asing untuk meningkatkan ekonomi Indonesia, Arsjad mengemukakan bahwa saat ini negara kita memiliki lebih dari 270 juta penduduk. Ini adalah sebuah sebuah bidang yang sangat memerlukan investasi pada human capital.
BACA JUGA: Arsjad Rasjid Mengungkap Tips Agar Terus Agile dalam Podcast Bersama Gita Wirjawan
Untuk itu, jangan malu dan jangan ragu untuk belajar bahasa asing. Bukan sekadar untuk tampil lebih gaya di depan teman-teman, tetapi juga sangat penting untuk meningkatkan perekonomian bangsa.