Kebiasaan chronically online semakin marak terjadi akibat digitalisasi. Istilah ini menggambarkan bagaimana seseorang menghabiskan sebagian besar waktunya di internet, terutama untuk media sosial, gaming hingga streaming.

Data State of Mobile tahun 2024 oleh Data.ai, menunjukkan bahwa pengguna di Indonesia memiliki waktu layar atau screentime terbanyak di dunia, yakni lebih dari 6 jam per hari. Angka ini merupakan yang tertinggi dalam rata-rata global.

Dampak dari intensitas online yang tinggi ini cukup beragam. Menurut banyak penelitian, hal ini telah mempengaruhi rentang perhatian manusia di berbagai kalangan usia. Tentu saja, ini berpengaruh pada kesehatan mental, interaksi sosial serta pergeseran tren budaya di masyarakat

Arsjad Rasjid mengajak kita mengenali dampak negatif dari chronically online. Dengan begitu, kita bisa mencapai keseimbangan hidup yang lebih sehat dan teratur meski perlu sering terhubung dengan internet.

Memahami arti chronically online

Bila seseorang memiliki kebiasaan secara terus menerus aktif di internet, khususnya media sosial, kemungkinan ia sudah berada di tahap chronically online. Menurut Arsjad, mereka yang mengalami hal ini akan terhubung ke internet hampir sepanjang waktu dan sulit untuk memisahkan diri dari dunia digital.

Tren ini semakin meningkat sejak adanya pandemi Covid-19 yang memaksa banyak orang untuk sekolah, bekerja, berinteraksi sosial hingga menghibur diri secara online.

Sebelumnya istilah ini lebih populer dengan extremely online serta terminally online di tahun 2010an. Namun kini istilah tersebut menjadi chronically online dan banyak digunakan oleh para Gen Z yang mendominasi aktivitas digital saat ini.

Dampak positif dan negatif dari online dalam waktu panjang

Arsjad Rasjid menyebutkan bahwa aktivitas online dalam durasi yang panjang memiliki dua sisi, positif dan negatif.

Positifnya, pengguna bisa lebih cepat update dengan informasi dan tren terbaru. Hal ini dapat menjadi stimulus akan lahirnya ide-ide kreatif baru, terutama bagi pekerja di sektor kreatif atau digital.

Namun, kita juga perlu memperhatikan efek negatif ketika seseorang sudah di tahap kecanduan online atau sulit melepaskan diri dari dunia digital. Salah satu efek negatif yang banyak dirasakan oleh banyak orang akhir-akhir ini adalah menurunnya rentang perhatian atau attention span.

Normalnya, anjuran durasi menatap layar (screen time) yang baik sesuai usia menurut Kemenkes adalah sebagai berikut.

  • Untuk bayi 0-2 tahun : tidak terpapar screen time sama sekali bagi bayi 0-2 tahun.
  • Konten edukatif bagi anak usia 2-3 tahun : maksimal 30 menit per hari
  • Balita di atas 3 tahun : tidak lebih dari satu jam per hari
  • Anak-anak usia lebih dari 5 tahun : Maksimal 2 jam per hari
  • Remaja dan Dewasa : Maksimal 4 jam per hari bagi remaja dan dewasa

Cara meningkatkan kembali attention span dan fokus saat sudah terlanjur chronically online

Dengan memahami dampak dari kecanduan online kronis, tentunya kita ingin mengembalikan fokus agar kembali prima. Sebab hal tersebut penting untuk menjaga produktivitas sehari-hari.

Arsjad Rasjid memberikan beberapa tips yang bisa dilakukan untuk mengembalikan attention span dengan metode di bawah ini.

1. Mengurangi distraksi dengan AFK (away from keyboard) sejenak

Sebaiknya ambil waktu sejenak untuk istirahat dengan menerapkan AFK. Caranya dengan menerapkan aturan durasi berselancar di internet untuk diri sendiri dan disiplin menjalankannya.

Menurut Arsjad, hal ini memang akan terasa berat di awal. Namun dengan melakukannya secara konsisten, bisa menjaga pikiran kita agar tetap mindful.

2. Membuat skala prioritas

Menurut penelitian Gloria Mark, Phd dari University of California Irvine, semakin sering berganti fokus dapat meningkatkan level stres seseorang. Oleh karena itu, kita perlu melatih diri menentukan skala prioritas.

Bisa dimulai dari hal yang sederhana seperti menghindari multitasking. Lakukan satu hal dalam satu waktu dan fokus dengan hal tersebut. Setelah selesai, barulah mengerjakan hal lainnya.

3. Memperbaiki gaya hidup

Terlalu sering online membuat kita malas bergerak, lupa makan atau istirahat terlalu larut. Hal ini akan berdampak pada metabolisme dan mood sehari-hari.

Perbaiki pola hidup kita yang paling mendasar, seperti kebutuhan olahraga, makan dan istirahat. Jaga agar ketiga hal tersebut bisa dilakukan secara teratur dan sesuai dengan porsinya.

Hindari terlalu banyak menggunakan smartphone untuk online pada saat melakukan aktivitas, terutama sebelum tidur. Dengan menjalani rutinitas lain, kita bisa secara bertahap melakukan digital detox dan memulihkan kembali keseimbangan hidup yang lebih sehat.

BACA JUGA: Arsjad Rasjid Mengungkapkan Agility Adalah Kunci Bertahan di Era Disrupsi

Meskipun internet memberikan banyak manfaat, kita perlu mengenali dampak seperti kebiasaan chronically online. Dengan mencoba beberapa tips di atas, semoga bisa mengembalikan kemampuan kita untuk fokus dan hidup dengan lebih seimbang di era serba digital ini.

You may also like

More in News