Toxic parenting bisa meninggalkan dampak jangka panjang pada mental dan emosional anak, yang bisa terbawa hingga mereka dewasa. Pola pengasuhan yang kurang tepat ini sering kali menimbulkan luka batin yang tersimpan di balik senyuman orang-orang yang terlihat bahagia di luar, tetapi sebenarnya masih menyimpan trauma masa kecil.

Arsjad Rasjid membahas rantai toxic parenting yang perlu diputuskan, agar hal tersebut tidak kita wariskan pada anak-anak kita ke depannya. Mari memulihkan luka masa kecil dan menyelamatkan generasi muda mendatang dari pola asuh yang salah.

Mengapa rantai toxic parenting harus dihentikan?

Toxic parenting adalah pola asuh yang memberikan dampak negatif pada perkembangan anak. Bentuknya bisa bermacam-macam, mulai dari pengabaian, sikap over protektif, kekerasan verbal atau fisik, hingga tuntutan berlebihan dan kritik yang terlalu keras.

Sayangnya, pola pengasuhan ini dapat meninggalkan bekas luka yang menetap hingga sang anak tumbuh dewasa. Tanpa sadar, mereka juga akan melanjutkan pengasuhan yang sama saat menjadi orang tua.

Bagaimana pola asuh toksik dapat berlanjut?

Siklus toxic parenting sering kali berlanjut karena orang tua yang melakukannya pernah mengalami pola pengasuhan yang sama di masa kecil. Karena tidak memiliki contoh pengasuhan yang sehat, mereka secara tidak sadar meneruskan pola yang serupa pada anak-anak mereka.

Akibatnya, siklus ini kembali berlanjut dan mewariskan toxic parenting bersama luka masa kecil mereka kepada anak-anaknya.

Oleh karena itu, luka masa kecil ini perlu dipulihkan. Bukan hanya supaya kita tidak perlu mewariskan pola asuh dan luka tersebut pada anak-anak kita di masa depan. Namun juga membantu diri agar dapat sembuh dari luka akibat pengalaman buruk di masa lalu.

Berusaha menjadi versi terbaik dari diri sendiri

ilustrasi Berusaha menjadi versi terbaik dari diri sendiri

Sumber gambar

Arsjad Rasjid menekankan pentingnya menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri, terutama bagi mereka yang kelak akan menjadi orang tua. Setiap anak berhak mendapat kesempatan tumbuh dalam lingkungan yang sehat dan penuh kasih.

Untuk mengatasinya, mulai lakukan refleksi diri tentang pola asuh yang pernah kita dapatkan dan dampaknya pada perilaku maupun mindset saat ini. Kemudian lakukan pengelolaan luka masa kecil lewat pendekatan seperti komunikasi terbuka dengan orang terdekat, atau tenaga profesional bila memang hal tersebut sudah mulai mengganggu kehidupan sehari-hari.

Teknik pengelolaan emosi dengan metode journaling atau meditasi, juga dapat digunakan sebagai media melepaskan trauma. Dari sini, kita juga dapat memahami pola asuh toksik yang sebaiknya tidak diterapkan pada anak-anak ke depannya.

Memahami parenting yang benar dan meninggalkan pengasuhan yang keliru, merupakan bagian dari bentuk pemulihan diri dari luka masa kecil. Di samping membuat anak-anak kita dapat tumbuh secara optimal di lingkungan yang lebih sehat, juga menumbuhkan kekuatan dan kesadaran bahwa kita dulu dilahirkan sebagai insan yang berharga.

Pulih dari luka, membangun pola asuh yang sehat untuk generasi berikutnya

Berikutnya, luka di masa lalu bukan akhir segalanya. Walaupun lahir dan besar dalam pengasuhan yang salah, kebahagiaan tetap dapat dirasakan ketika kita sudah pulih.

Bahkan, kita telah memutus rantai pola asuh toksik tersebut dengan memahami bagaimana cara menghadirkan lingkungan pengasuhan yang penuh kasih dan lebih berempati terhadap perasaan anak-anak kita. Nantinya, hal ini dapat menjadi fondasi pertumbuhan anak yang sehat secara mental dan emosional.

BACA JUGA: Bagi Arsjad Rasjid, Quality Time Adalah Merajut Kebersamaan di Meja Makan Keluarga

Memulihkan trauma toxic parenting memang tidak mudah. Namun dengan kesadaran untuk pulih, menjadi orang tua yang lebih baik bukan hal yang tidak mungkin. Bila perlu, hubungi profesional atau psikolog untuk membantu mengubah pengalaman pahit tersebut menjadi kekuatan dan berdamai dengan luka pengasuhan tersebut.

You may also like

More in News