Pandemi menciptakan tren kerja remote yang memudahkan individu bekerja dari mana saja. Tren ini bahkan membuka peluang bagi siapa saja untuk mendapatkan bayaran tinggi meski bekerja dari rumah.

Namun ketika mobilitas masyarakat kini sudah kembali normal, sejauh mana potensi kerja jarak jauh ini akan bertahan?

Berdasarkan riset terbaru World Economic Forum (WEF) tentang berbagai potensi kerja remote pada tahun 2024. Dalam riset tersebut, terlihat adanya penurunan dalam 2 tahun terakhir.

Hal ini mungkin perlu menjadi pertimbangan Anda untuk menentukan langkah karir ke depan.

Simak penjelasan lengkapnya di bawah ini.

Kerja remote dan pengaruhnya pada produktivitas

Awalnya remote working atau sistem kerja jarak jauh diterapkan karena adanya pembatasan mobilitas masyarakat di masa pandemi Covid-19. Namun seiring berjalannya waktu, banyak perusahaan yang memilih untuk tetap menggunakan metode ini karena efektivitasnya.

Van der Voort dari perusahaan Remote, meluncurkan Laporan Tenaga Kerja Remote tahun 2023 (Remote’s 2023 Workforce Report) yang merupakan hasil survei pada perusahaan yang menerapkan kerja remote di seluruh dunia.

Laporan tersebut menyebutkan bahwa, 58% perusahaan merekrut karyawan lokal dan 72% merekrut karyawan internasional. Hal ini menunjukkan bahwa kerja jarak jauh dapat meningkatkan produktivitas.

Fleksibilitas sistem kerja jarak jauh membuatnya tinggi peminat

Beberapa tahun terakhir, tren bekerja dari mana saja (WFA) memang mengalami kenaikan yang signifikan. Ada beberapa faktor yang mendorong pertumbuhan ini, antara lain:

  • Perkembangan bidang teknologi dan digital
  • Preferensi pekerja pasca pandemi yang mendambakan fleksibilitas waktu dan tempat kerja
  • Pergeseran kesadaran tentang budaya kerja yang mengutamakan keseimbangan kehidupan pribadi dan profesional.
  • Pertimbangan efisiensi biaya perusahaan, seperti sewa gedung dan operasional kantor.

Selain faktor di atas, tawaran gaji yang menarik dan tidak jauh berbeda dari kerja kantoran, juga membuat banyak orang lebih menyukai opsi kerja WFA.

Temuan riset World Economic Forum menunjukkan adanya penurunan lowongan kerja remote

Meskipun minat masyarakat terhadap kerja remote masih tinggi, World Economic Forum merilis hasil riset terbaru yang menggambarkan sebaliknya.

Platform karir, Ladders, melaporkan adanya penurunan lowongan Work from Anywhere (WFA) bergaji besar di Amerika Serikat, yakni dari 37% ke 12% pada akhir tahun 2023. Angka penurunan ini terjadi baik di sektor perusahaan teknologi maupun non-teknologi.

Sementara itu, pekerjaan dengan sistem hybrid (kantor dan rumah), juga dilaporkan mengalami penurunan dari 16% di kuartal pertama 2023 menjadi 3% saja di kuartal akhir 2023.

Opsi kerja dari kantor memberikan tawaran gaji yang lebih tinggi

Ladders menjelaskan bahwa pekerjaan bergaji besar di US, kini lebih banyak tersedia pada sistem kerja bekerja dari kantor atau Work from Office (WFO). Namun, persaingan untuk mendapatkan pekerjaan WFO juga lebih tinggi dan membutuhkan kualifikasi yang lebih tinggi.

Dalam daftar 20 pekerjaan kantoran dengan kisaran gaji $200,000 (sekitar Rp3,2 miliar) versi Ladders, peringkat tertinggi didominasi oleh bidang kesehatan (dokter/dokter gigi), ahli pemrograman perangkat lunak, ahli pajak, dan hukum.

Meski demikian bila dilihat dari sisi persaingan pelamar kerja, bidang pelayanan kesehatan sangat rendah kompetisinya, karena jumlah tenaga kerja yang tersedia masih terbatas.

Sedangkan pekerjaan di bidang yang tinggi peminat seperti marketing, media, manajemen, bisnis dan penjualan serta HRD dengan kisaran gaji tersebut, persaingannya sangat tinggi karena jumlah pelamar kerja yang melebihi kebutuhan.

Sementara itu menengok situasi di Indonesia, Microsoft telah menunjukkan sejumlah perubahan tren dunia kerja lewat laporan Work Trend Index pada tahun 2022, “Great Expectations: Making Hybrid Work Work.”

Dalam laporan tersebut, salah satunya menyoroti hasil 60% pelaku usaha di Indonesia berencana untuk kembali ke mode kerja kantoran (WFO), sedangkan 66% pekerja mempertimbangkan kerja remote atau hybrid.

Hal ini senada dengan Survei Logitech, Hybrid Work Trend & Insights Indonesia 2023, yang melibatkan sejumlah 500 responden dari kalangan karyawan profesional. Mayoritas lebih suka sistem kerja hybrid karena alasan bisa berhemat.

Dari sisi fasilitas kerja, tantangan terbesar sistem kerja remote dan hybrid di Indonesia adalah internet (81%) dan perangkat digital yang kurang memadai (55% dan 33%). Selain itu sejumlah responden juga merasa kehilangan interaksi langsung dalam bekerja (45%).

Sementara itu, dari sisi ketersediaan lapangan kerja, menurut data BPS di November 2023, angka pengangguran terbuka di Indonesia setara 7,86 juta pengangguran dengan mayoritas usia di kisaran 15-24 tahun.

Kebutuhan karyawan generasi muda akan interaksi manusia dalam pekerjaan

Selain fenomena di atas, pekerja generasi muda mulai beralih minat dari sistem kerja jarak jauh menjadi hybrid. Hal ini disebabkan karena adanya kebutuhan berinteraksi langsung dalam pekerjaan.

Contoh kasusnya adalah di Austria, di mana pekerjanya lebih suka datang ke pop-up office (sejenis coworking space/ruang kerja bersama untuk publik) daripada bekerja dari rumah. Menurut Menteri Perekonomian dan Tenaga Kerja Austria, Martin Kocher, ini bisa mendorong pertumbuhan jumlah pop-up office di wilayah tersebut.

Temuan ini juga menjadi masukan bagi perusahaan untuk bisa membangun lingkungan kerja dengan fasilitas yang bisa memenuhi kebutuhan interaksi manusia yang dinamis.

Sementara itu, melansir dari LA Times, penelitian terbaru menunjukkan kinerja karyawan menurun 10%-20% bila bekerja dari rumah. Sedangkan, karyawan yang bekerja dengan sistem hybrid, punya produktivitas yang mirip dengan mereka yang bekerja kantoran.

Walaupun pelaku usaha masih banyak yang meragukan sistem kerja hybrid, tetapi penelitian mengindikasikan bahwa dengan adanya fleksibilitas di tempat kerja kerja bisa berpengaruh pada peningkatan hasil finansial perusahaan.

Bidang kerja remote yang masih potensial menurut WEF

Meski terdapat tren penurunan di US, secara global lowongan kerja dengan sistem remote ini tidak akan hilang begitu saja. Salah satu pendiri Linkedin, Allen Blue, juga sepakat bahwa masih banyak pelamar kerja yang berminat dengan sistem kerja remote.

Namun pihak Linkedin memang tidak menampik bahwa ada penurunan drastis lowongan kerja WFH dari 20% pada April 2022 merosot ke 8% pada Desember 2023. Padahal ada 46% pelamar yang masih mencari lowongan kerja dengan sistem kerja dari rumah.

World Economic Forum dalam “The Rise of Global Digital Jobs” yang menganalisa perkembangan kerja remote di tahun 2024 dan perkembangannya hingga 2030 mendatang, merekomendasikan sejumlah bidang pekerjaan WFA yang masih menjanjikan dari sisi pendapatan.

Pelamar kerja masih bisa menyasar beberapa sektor di bawah ini:

  • Bidang keuangan dan akuntansi,
  • Bidang hukum (pengacara)
  • Pengembang perangkat lunak
  • Manajer bidang layanan kesehatan, marketing dan telekomunikasi
  • Konsultan di berbagai keahlian.

Ke depannya, persaingan di dunia kerja akan terus bergerak cepat dan dinamis. Persiapkan diri dengan menjadi adaptif terhadap perubahan dan meningkatkan keahlian yang relevan.

BACA JUGA: Tren Virtual Assistant: Menyelami Rahasia Sukses IRT Masa Kini

Meski terlihat adanya penurunan lowongan kerja remote dalam perspektif WEF dalam 2 tahun terakhir, masih ada kesempatan bagi individu yang mau proaktif dan menyesuaikan diri dengan era baru dunia kerja yang semakin terkoneksi ini.

You may also like

More in News