Pernah mendengar fenomena quiet quitting dalam dunia kerja? Istilah ini mengacu pada perilaku karyawan di perusahaan yang membatasi kontribusi mereka sesuai dengan kesepakatan kerja.
Perilaku ini jadi salah satu tantangan untuk kemajuan perusahaan. Oleh karena itu sebaiknya para manajer dan pemimpin perusahaan mengenali dan memahami mengapa SDMnya menjadi pasif.
Berikut ini adalah penjelasan tentang quiet quitting, mengenali penyebab dan dampaknya, serta bagaimana meningkatkan atmosfer kerja yang menunjang produktivitas karyawan.
Daftar Isi
Apa itu quiet quitting?
Penyebab turunnya motivasi kerja karyawan
1. Tidak mendapat apresiasi dari perusahaan
2. Beban kerja terlalu tinggi sampai merasa burnout
3. Dampak pandemi
Dampak quiet quitting untuk perusahaan
1. Penurunan produktivitas:
2. Rendahnya kualitas kerja:
3. Kurangnya inovasi dan kreativitas:
4. Atmosfer kerja yang negatif:
5. Tingkat turnover yang tinggi:
Cara meningkatkan atmosfer kerja yang menyenangkan
1. Membangun koneksi dan teamwork
2. Mengevaluasi skema kompensasi dan reward
3. Menampung feedback
4. Memperhatikan kesejahteraan fisik dan mental karyawan
5. Menyepakati jam kerja
Apa itu quiet quitting?
Quiet quitting adalah perilaku karyawan yang sebenarnya merasa tidak puas dengan pekerjaan atau lingkungan kerja mereka, tetapi memilih tetap bertahan dengan tidak memberikan kontribusi maksimal.
Sikap ini bisa terjadi karena karyawan ingin menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan personal. Namun, dalam beberapa kasus, karyawan juga menunjukkan resistensi atau penolakan untuk melakukan pekerjaan di luar job desk mereka.
Beberapa ciri orang yang sedang menerapkan quiet quitting antara lain:
- Datang dan pulang kerja tepat waktu, tidak mau overtime.
- Tidak bersedia melakukan tugas di luar job desknya
- Tidak mau dihubungi di luar jam dan hari kerja
- Pasif dalam berinisiatif atau ketika dimintai pendapat
- Sering absen dari kegiatan di luar jam kerja yang dilakukan perusahaan
Jika karyawan menunjukkan beberapa perilaku di atas, bisa jadi ia sedang memasuki fase merasa tidak puas dengan sistem atau tempat kerjanya.
Penyebab turunnya motivasi kerja karyawan
Sebagai manusia biasa, karyawan juga memiliki aspek emosional yang mempengaruhi motivasi kerja mereka.
Bila melansir dari laman DJKN Kemenkeu, ada beberapa penyebab seseorang mengalami fase quiet quitting.
1. Tidak mendapat apresiasi dari perusahaan
Apresiasi yang bersifat materi maupun non materi sangatlah penting dalam menjaga semangat kerja karyawan. Mereka yang kurang mendapat pengakuan, penghargaan dan masukan atas hasil kerjanya, motivasi kerjanya jadi lebih rapuh dibandingkan karyawan yang diperlakukan sebaliknya.
2. Beban kerja terlalu tinggi sampai merasa burnout
Dalam dunia kerja, ada kalanya seorang karyawan diminta mengerjakan lebih dari kapasitasnya. Bila pimpinan perusahaan atau manajer tidak memperhatikan hal ini, karyawan akan cenderung merasa stres dan burnout.
Hal ini akan berdampak pada hasil kerja mereka di kemudian hari. Karyawan merasa kelelahan sehingga tidak bisa memberikan performa maksimal. Akhirnya, karyawan mulai menunjukkan penolakan atau penurunan pada produktivitas kerja mereka.
3. Dampak pandemi
Profesor bidang ketenagakerjaan di Kings College London, Katie Bailey, menjelaskan bahwa pandemi Covid-19 yang lalu ternyata juga berdampak pada pandangan pekerja tentang karir mereka.
Di antaranya bagaimana kontribusi dan perlakuan yang mereka peroleh di tempat kerja. Hasil evaluasi ini berdampak pada perubahan cara pandang mereka terhadap pekerjaan
Banyak orang mengevaluasi ulang makna kehidupan. Salah satunya adalah pandangannya terhadap karir. Tren quiet quitting ini digaungkan oleh pekerja-pekerja muda kalangan milenial dan generasi Z.
Mereka mencari fleksibilitas dalam bekerja dan juga keseimbangan hidup. Serta menolak gaya hidup yang hanya fokus pada pekerjaan. Artinya, walaupun tetap bekerja, tetapi mereka tidak ingin hidupnya diatur oleh pekerjaan.
Dampak quiet quitting untuk perusahaan
Meskipun hanya satu atau dua orang yang mengalami penurunan motivasi dan minat kerja dalam suatu perusahaan, dampaknya bisa cukup signifikan bagi perusahaan secara keseluruhan.
Adapun beberapa dampak yang bisa terjadi bila ada karyawan yang sedang mengalami situasi ini adalah:
1. Penurunan produktivitas:
Karyawan yang pasif cenderung tidak memberikan kontribusi maksimal dalam pekerjaan. Akibatnya bisa terjadi penurunan produktivitas di dalam tim atau departemen mereka. Kurangnya motivasi dan keterlibatan dapat menghambat kemajuan proyek dan mengganggu kinerja keseluruhan perusahaan.
2. Rendahnya kualitas kerja:
Karyawan yang tidak termotivasi cenderung tidak memberikan perhatian dan upaya maksimal dalam pekerjaan mereka. Hal ini dapat mempengaruhi kualitas kerja dan hasil akhir yang kurang memuaskan. Rendahnya kualitas kerja ini bisa berdampak pada reputasi perusahaan dan kepuasan pelanggan.
3. Kurangnya inovasi dan kreativitas:
Karyawan yang pasif membuat mereka enggan terlibat dalam proses inovasi dan atau berkontribusi memberikan ide-ide baru. Hal ini bisa menyebabkan terhambatnya kemajuan perusahaan dalam berinovasi, menghadapi persaingan, dan memenuhi kebutuhan pasar yang terus berkembang.
4. Atmosfer kerja yang negatif:
Berikutnya, karyawan yang pasif bisa mempengaruhi atmosfer kerja dan memberi dampak negatif di sekitar mereka. Rasa tidak puas dan sikap tidak peduli ini dapat menular ke rekan kerja lainnya hingga berdampak pada moral tim secara keseluruhan.
Akibatnya mudah memunculkan ketegangan, konflik, dan ketidakharmonisan di tempat kerja.
5. Tingkat turnover yang tinggi:
Karyawan yang tidak puas dan tidak termotivasi cenderung mencari kesempatan kerja baru. Jika banyak karyawan yang mengalami ketidakpuasan dan keengganan untuk berkontribusi, perusahaan dapat menghadapi tingkat turnover yang tinggi.
Tingginya tingkat pergantian karyawan dapat berdampak negatif pada produktivitas, kontinuitas, dan biaya perusahaan.
Pada dasarnya, quiet quitting dapat menghambat tidak hanya individu, melainkan juga tim dan keberlangsungan perusahaan bila tidak ada tindakan untuk menanggulanginya.
Cara meningkatkan atmosfer kerja yang menyenangkan
Sebagai manajer atau pemimpin perusahaan, ada baiknya melakukan observasi dan evaluasi terlebih dahulu saat menemukan kasus quiet quitting. Alih-alih menyalahkan karyawan, kita bisa melihat ke dalam aturan dan sistem yang diterapkan.
Untuk mencegah dan menanggulangi quiet quitting, ada beberapa cara yang bisa dilakukan.
1. Membangun koneksi dan teamwork
Sebagai pemimpin, sebaiknya melakukan sesi pertemuan rutin dengan karyawan, bisa secara tim maupun one-on-one. Cara ini bisa menunjukkan kesediaan kita dalam membina hubungan kerja yang sehat antara pemimpin atau manajer dengan karyawan.
Sesi ini bermanfaat untuk memberikan pengertian dan mendapat masukan sehingga tercipta komunikasi dua arah.
2. Mengevaluasi skema kompensasi dan reward
Salah satu faktor turunnya motivasi karyawan adalah karena kompensasi dan apresiasi yang diterima tidak sesuai dengan kontribusi yang diberikan.
Selain gaji yang merupakan hak dari karyawan, perusahaan juga dapat mempertimbangkan skema penghargaan sesuai dengan kontribusi yang diberikan. Stimulasi lain seperti bonus atau reward seperti penghargaan, liburan bersama dan sejenisnya, akan menjadi nilai tambah yang berkesan di hati karyawan.
3. Menampung feedback
Pemimpin perusahaan harus terbuka untuk menerima masukan dan saran dari karyawan. Memberikan kesempatan bagi karyawan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan memberikan kontribusi mereka dapat meningkatkan rasa memiliki dan keterlibatan
4. Memperhatikan kesejahteraan fisik dan mental karyawan
Manajer atau pimpinan juga perlu memperhatikan bagaimana kesehatan fisik dan mental karyawannya terutama dalam mengemban job desk mereka.
Perusahaan dapat memberikan dukungan untuk keseimbangan kerja-kehidupan pribadi, menawarkan program kesehatan dan kesejahteraan, serta menghadirkan lingkungan kerja yang sehat dan mendukung dapat membantu meningkatkan semangat kerja karyawan.
5. Menyepakati jam kerja
Semua pihak baik pimpinan maupun karyawan sebaiknya menyepakati jam kerja yang memadai. Kedua belah pihak perlu memahami tingkat urgensi dari pekerjaan yang menyebabkan tuntutan untuk dapat lebih ‘fast respond’ pada situasi khusus
Namun di sisi lain karyawan dan pimpinan sama-sama memiliki hak atas waktu pribadi di luar jam kerja. Menyepakati batas waktu dan menjaga keseimbangan antara kerja dan waktu istirahat dapat membantu mencegah karyawan menjadi pasif.
Pada dasarnya hubungan antara perusahaan, pemimpin perusahaan dan karyawan bukan sekedar memberikan kontrak kerja, job desk dan gaji. Ada aspek psikologis dan emosional yang perlu dipahami dalam mengelola sumber daya manusia yang bekerja di perusahaan kita.
BACA JUGA: Pesan Ayah Arsjad Rasjid Tentang Pentingnya Menghargai Karyawan
Dengan menerapkan lingkungan kerja yang sehat dan interaktif, potensi quiet quitting bisa diredam. Sebaliknya, akan memaksimalkan integritas dan performa SDM yang dimiliki sehingga perusahaan bisa lebih maju.