Generasi 90an pasti mengenal Kodak Fujifilm sebagai dua brand film untuk fotografi di masanya. Namun meskipun sama-sama populer di era tersebut, keduanya memiliki nasib akhir yang sangat berbeda.
Kodak mengajukan pailit di tahun 2012, Sementara Fujifilm semakin melebarkan sayap dan berkembang dengan pesat hingga hari ini. Bagaimana hal ini bisa terjadi?
Simak pembahasan penting Arsjad Rasjid tentang Kodak Fujifilm yang bisa jadi pelajaran bagi para pemilik usaha dalam skala kecil maupun besar, agar tidak gugur di tengah proses merintis bisnis karena tekanan perubahan zaman.
Daftar Isi
Perbedaan Kodak Fujifilm menghadapi perubahan pasar
Keberhasilan Fujifilm: Adaptasi dan diversifikasi
Belajar tiga strategi Fujifilm untuk bisnis yang berkelanjutan
1. Diversifikasi bisnis
2. Inovasi berkelanjutan
3. Merger dan akuisisi
Perbedaan Kodak Fujifilm menghadapi perubahan pasar
Banyak yang menganggap bahwa kegagalan Kodak adalah karena kurangnya inovasi, padahal tidak demikian. Menjadi dua brand besar dalam teknologi fotografi, Kodak justru mengawali pengembangan kamera digital sejak tahun 1975.
Sayangnya, hal ini tidak diimbangi dengan kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan dan mengidentifikasi peluang bisnis baru. Kodak terjebak pada model bisnis tradisional yang masih berfokus pada penjualan film fisik dan gagal mengikuti transisi ke foto digital dan online yang berkembang pesat di awal 2000an.
Dengan kata lain, permasalahan utama Kodak adalah tidak mampu beradaptasi dengan disrupsi pasar yang terjadi, seperti perubahan perilaku konsumen dan berinovasi dalam model bisnis. Kodak pun tergerus oleh waktu sehingga akhirnya mengajukan pailit pada tahun 2012.
Keberhasilan Fujifilm: Adaptasi dan diversifikasi
Sementara itu, Fujifilm melakukan pendekatan yang lebih adaptif dengan melakukan diversifikasi bisnis secara bertahap. Adanya disrupsi pasar membuat Fujifilm tidak hanya menetap pada bidang fotografi, melainkan melakukan pengembangan teknologi dan produk ke bidang imaging, material dan healthcare.
Dengan memanfaatkan teknologi dan pengetahuan yang dikembangkan dari fotografi, Fujifilm menciptakan produk kecantikan seperti Astalift, yang berbasis antioksidan yang ditemukan melalui riset mereka. Produk ini sukses di Jepang dan kemudian dipasarkan ke luar negeri seperti Tiongkok, Asia Tenggara, dan Eropa.
Belajar tiga strategi Fujifilm untuk bisnis yang berkelanjutan
Dari perjalanan dua brand raksasa yang berbeda nasib tersebut, kita bisa belajar tiga hal yang membuat Fujifilm bisa bertahan dan beradaptasi menuju era digital.
1. Diversifikasi bisnis
Memperluas portofolio bisnis ke berbagai bidang dengan bertumpu pada keahlian mereka di segmen film dan fotografi.
2. Inovasi berkelanjutan
Tahun 2000an melakukan eksplorasi di industri kosmetik dan farmasi karena market film dan fotografi sedang surut. Serta melakukan identifikasi area di mana perusahaan dapat menunjukkan keunggulan kompetitif secara berkelanjutan.
3. Merger dan akuisisi
Tahun 2011 Fujifilm masuk ke bisnis Bio CDMO dan secara aktif mengejar peluang merger dan akuisisi (M&A)
Dalam menjalankan bisnis, kemampuan beradaptasi dan strategi diversifikasi jadi salah satu ilmu penting untuk dapat menghadapi perubahan pasar. Kodak gagal dalam menyesuaikan diri dengan zaman meskipun sempat menjadi pelopor inovasi teknologi, sementara Fujifilm membuka diri pada peluang baru meski tetap berbasis pada core business mereka.
BACA JUGA: Kualitas Karya Hingga Berani Keluar Zona Nyaman, Ini Alasan Studio Ghibli Sangat Populer
Pasar dan teknologi semakin cepat berubah. Perbedaan kesuksesan Kodak Fujifilm di atas tetap relevan bagi para pelaku usaha, sebagai pelajaran penting bahwa kombinasi dari inovasi berkelanjutan, agility, dan pemahaman pasar yang mendalam dapat menyelamatkan bisnis dari kegagalan.